Bandung, Suatu sore di Tahun 2009

Saat itu saya sedang berbincang dan berdiskusi dengan Dr. M Tasrif (Dosen studi pembangunan ITB). Waktu itu saya bertanya kepada beliau :” Nampaknya negeri kita ini sungguh runyam, Lantas apa sebenarnya yang menjadi pangkal persoalan dan titik peka yang harus dibenahi?” Beliau cuma menjawab dengan singkat :”Kejujuran!” Sebenarnya waktu itu saya tidak puas dengan jawaban beliau. Sebagai anak muda yang lagi seneng-senengnya belajar tentang kebijakan publik, saya berharap akan menerima jawaban semacam strategi mencapai ketahanan pangan, atau merealisasikan kemandirian energi, atau alih teknologi migas dsb. Saya tak menyangka beliau sekedar memberi jawaban yang sangat normatif. Namun dikemudian hari, akhirnya saya memahami betul apa yang beliau sampaikan.

Balikpapan, Suatu pagi di Tahun 2013

Bosan menunggu penerbangan menuju Jakarta, saya membeli secangkir kopi dan majalah The Economist. Saya membaca satu artikel yang menarik tentang kiprah dan nasib Diaspora pelajar-pelajar China yang menempuh studi di Luar negeri (barat). Artikel tersebut membagi Diaspora pelajar China kedalam empat fase. Masing-masing Fase memberi perbaikan yang signifikan terkait modernisasi China, kecuali fase terakhir. Saat ini, diaspora pelajar-pelajar china yang menempuh studi di luar negeri sulit “terserap” ketika kembali ke China. Hal ini disebabkan jumlah PhD yang sudah sangat melimpah di China serta kualitas perguruan tinggi di China yang lambat laun bisa menyaingi kualitas perguruan tinggi di negara-negara barat.

Bogor, suatu siang di Tahun 2013

Di sela-sela menjalani tugas sebagai Panitia Olimpiade Fisika Asia, saya sempatkan berbincang dengan Team Leader dari China. Saya penasaran dengan pola pembinaan di China sehingga China bisa sangat digdaya di ajang-ajang olimpiade keilmuan dan ajang2 lain termasuk olahraga. Pada akhirnya saya simpulkan kalau tidak ada yang istimewa dengan pola pembinaan mereka. Mereka cuma memastikan dua hal : Akses yang merata dan menjangkau semua anak/siswa,\ serta kompetisi yang fair. Mereka punya lebih dari 1 milyar penduduk. Ketika mereka bisa menyediakan akses (informasi, kesempatan, materi) ke seluruh pelosok china dan membuat sistem kompetisi berjenjang yang fair maka dari 1 milyar penduduk otomatis akan muncul sendiri jenius-jenius Fisika hingga jenius-jenius olahraga. Pada akhirnya mereka tinggal memberi polesan terakhir saat pelatihan nasional.

Tallahassee, 2013

Karena nilai test speaking saya masih dibawah standar untuk Teaching Assistant, maka saya diharuskan mengambil kelas bahasa inggris. Saya sekelas dengan beberapa kawan dari China, salah satunya bernama ChaoLun. Dia sedang mengambil jurusan Biologi namun sangat tertarik dengan Fisika (seperti halnya saya sangat tertarik dengan China). Oleh karena itu, selepas kuliah bahasa Inggris saya dan Chao Lun biasa meluangkan waktu untuk berdiskusi panjang lebar tentang Fisika dan China. Biasanya saya memulainya dengan bercerita tentang kosmologi, relativitas, dsb lalu giliran saya meminta Chao Lun bercerita panjang lebar tentang China. Saya tertarik dengan China sejak membaca buku lama “Clash of Civilitation” karangan Huntington yang meramalkan munculnya China sebagai salah satu polar geopolitik masa depan. Dan kini kita menyaksikan bahwa ramalan Huntington tentang China terbukti benar.

Salah satu yang saya tanyakan ke Chaolun adalah terkait artikel The Economist yang saya baca di Balikpapan dan perbincangan saya dengan Team Leader Olimpiade Fisika dari China. Saya ingin mengkonfirmasi langsung apa yang saya baca dan saya dengar tentang China. Dan ChaoLun membenarkan cerita saya. 

Dari cerita Chao Lun, saya menyimpulkan kalau iklim persaingan di China sangatlah “sadis”. Pendidikan di China sangat berorientasi hasil,  berbeda dengan Amerika yang lumayan menitik beratkan pada proses. Di kampus ini saya sangat menikmati iklim yang sangat supportif, bisa mendapat nilai sempurna di satu ujian meski ada kesalahan menghitung.

Di China seorang mahasiswa pasca sarjana bisa jarang bertemu dengan pembimbing namun dituntut untuk mempublikasi sekian paper, dengan indeks impact factor minimal sekian dan sebagainya, Belum ditambah tekanan dari jumlah PhD yang sudah bejibun.Pada akhirnya, hanya mahasiswa super yang bisa bertahan. Namun, persaingan-persaingan sadis semacam ini berhasil membentuk budaya dan kebiasaan kerja keras pada orang China. 

Dan lagi pola semacam ini toh ternyata masih bisa membuat China saat ini menjadi perhatian dunia, seperti halnya Amerika meski keduanya memiliki kultur dan pola pendidikan yang sangat berbeda. China yang sangat kompetitif, bertolak belakang dengan Amerika yang sangat suportif pada individu dan kental dengan jargon2 semacam student centre teaching, apresiasi pada kreativitas dsb.

Intinya Kejujuran

Lambat laun saya mulai memahami apa yang Pak Tasrif sampaikan 4 tahun lalu tentang kejujuran. Meski saya tidak suka dengan sistem China, namun faktanya  China berhasil dengan cara menjamin akses yang menjangkau semua. Melalui jaminan akan sistem dan iklim yang kompetitif serta Fair (meski sadis) , ternyata China berhasil mencapai kemajuan di banyak hal. Nampak sesederhana itu yakni akses yang menyeluruh dab kompetisi yang fair.  Satu milyar penduduk cukup menjamin ketersediaan orang-orang yang cakap di semua bidang. Mungkin benar bahwa semua berpangkal dari kejujuran.

Departemen Fisika FSU pernah memiliki dua pemenang Nobel fisika. Salah satunya adalah the legendary Paul Dirac, sang peletak fondasi Mekanika Quantum. Dan satunya lagi berinisial RS, Penemu teory BSC pada superkonduktor. RS pernah dipenjara dan namanya kemudian sayup2 menghilang karena satu hal yakni melakukan pelanggaran lalu lintas (melewati batas kecelakaan) ,lalu terjadilah kecelakaan hingga menyebabkan orang meninggal. Mendengar cerita ini, ingatan saya berkelebat pada kejadian serupa di Indonesia. Seorang anak pejabat, atau anak artis ternama melakukan pelanggaran semacam diatas, lantas apa yang terjadi? Di Amerika, tidak ada istilah “Damai” meski untuk sekelas peraih Nobel Fisika.

Saya jadi berpikir, sebrengsek brengsek nya kapitalisme di Amerika, jika supremasi hukum masih ditegakan, dan kejujuran masih menjadi pedoman para penegak hukum maka Amerika tidak akan pernah runtuh. Sebaliknya, meski Indonesia saat ini bertaburan indikator makroekonomi yang mantap, namun selama kejujuran belum mendarah daging, supremasi hukum masih pincang, korupsi merajalela, maka impian Indonesia Jaya masih jauh dimata.

Pada akhirnya, saya memahami betul apa yang disampaikan Guru saya Pak Tasrif, bahwa kejujuran ternyata pangkal dari semuanya. China memang sadis, Amerika liberalnya rada keterlaluan. Namun selama kejujuran masih menjadi dipegang serta supremasi hukum ditegakan, setidaknya dalam tolok ukur kemajuan duniawi seperti pertumbuhan ekonomi, kekuatan militer, penguasaan teknologi, dominasi perdagangan dsb mereka akan unggul.

Lantas darimana harus memulai? 

Saya bisa sampai ITB karena andil besar salah satu guru sma saya yang nasihat dan keteladanannya Insya Allah tidak akan saya lupakan. Juga dengan istri saya, yang smp nya “hanya” di pesantren tidak terkenal, namun beruntung saat sma bertemu sosok guru yang inspiratif yang mengntarnya hingga berhasil masuk ITB. Ada juga satu orang yang saya kagumi kepemimpinan akademiknya mengatakan bahwa Ia terinspirasi dari dosennya saat mengambil PhD.

Saya yakin cerita-cerita semacam ini sangatlah banyak, Bahkan mungkin semua orang pernah mengalaminya. Yakni sepenggal persentuhan dengan guru yang inspiratif dan bijak namun bekasnya tertancap dalam sampai seumur hidup. Contoh lainnya adalah Andrea Hirata yang terinspirasi dari guru SD nya.

Pada akhirnya saya tidak bisa meletakan harapan akan membuminya kejujuran dan masa depan Indonesia selain kepada para pendidik di seantero negeri, Apapun bidang pekerjannya: Guru TK, guru SMA, Dosen, Guru ngaji, Kyai, Pastur dsb.

Kemarin saya membaca artikel tentang Buya Hamka. Saya sampai menitikan air mata karena terharu dengan dedikasi, keteladanan dan kesederhanannya. Indonesia perlu orang-orang semacam ini.

Saya pernah membaca satu quote yang sangat indah: “Kekayaan seorang sarjana adalah tulisan, dan kekayaan seorang bijak adalah keteladanan.” Dari keteladanan para guru lah nilai nilai seperti dedikasi, kejujuran, pengabdian ditancapkan. 

Maka teruntuk kaum pendidik, para guru: “berbahagialah!”, karena di tangan andalah  masa depan Indonesia digenggamkan.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *