Nostalgia di STKIP Surya

*****

Refleksi menjelang semester baru (repost)

Aku tuntun mereka mengisi baris demi baris form registrasi. Aku bilang : “kau punya Bapa, kerja dimana?” beberapa bilang petani, ada yang bilang kepala suku. Lantas setelah kutunjukan kolom dimana mereka harus mengisi, mereka menuliskan huruf-huruf dengan kecepatan seperti seorang anak TK yang baru belajar membaca dan menulis. Beberapa heboh mencari pinjaman tip ex setelah mereka akhirnya sadar telah salah menuliskan (bahkan) nama mereka sendiri.

Aku dan kawanku menghela nafas, membayangkan kesulitas yang kan kami hadapi. Seperti semester-semester sebelumnya, tiap hari kami memang harus berjibaku dengan situasi yang menuntut kesabaran luar biasa. Karena siswa yang kami ajar adalah siswa-siswi luar biasa yang lahir dan besar di tanah yang sungguh istimewa. Lantas, aku amati wajah mereka, mata mereka. Ada kepolosan, ada keluguan yang lazimnya hanya dimiliki anak-anak (meki mereka bukanlah anak-anak). keluguan yang aku harap tak hanya sekedar mengundang senyum simpati. Kepolosan yang semoga membantu menguatkan kami.

Karena dua hari ini aku masih tersihir pesona roman pramoedya :”bumi manusia”, maka peristiwa ini sontak mengingatkanku pada beberapa plot terkait pertentangan kelas pribumi-indo. Aku mengingatkan diriku sendiri dengan keras , untuk tidak bersikap seperti seorang eropa terhadap pribumi di roman tersebut. Yakni sebuah sikap yang menganggap bahwa kita adalah manusia modern yang telah mencicip pengetahuan masa kini,dan mereka adalah komunitas belum modern yang harus kita modernisasi dengan segala daya upaya. Aku mengingatkan dengan keras, kepada diriku sendiri.

Boleh jadi mereka memang belum modern, namun mereka memiliki hal-hal yang tidak dimiliki manusia modern. Saya terkesima ketika beberapa kelompok dari mereka tidak mengenal konsep “saving”, mereka ambil sebatas yang akan mereka makan dan mereka bagi apa yang mereka makan kepada orang sekitar. Tak terbersit sekalipun kekhawatiran akan esok hari, dan tidak terlintas hasrat untuk mengungguli yang lain. Bukankah yang seperti ini tidak jamak di kehidupan modern yang gemar memupuk capital, menimbun kerakusan.

Maka aku ingatkan diriku kembali untuk melihat mereka sebagai komunitas yang setara, seutuhnya. Aku coba hancurkan mindset maju-terbelakang di kepalaku, dan aku niatkan untuk sekaligus mengajar dan belajar dari mereka. Bukankah dalam buku-buku terkini tentang mengajar selalu ditulis kewajiban seorang guru untuk berani mengambil ekspektasi yang tinggi dan menanam kepercayaan terhadap muridnya?

Dikarenakan melepas mindset maju-terbelakang demikian susah, maka terlintas niatan untuk menjadi Multatuli, atau minimal seperti Miriam dan sarah (anak asisten residen) yang berkata kepada Minke lewat surat : “.. menurut papa lagi, pribumi sendiri yang harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri… menurut Papa, kodrat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu.”

Aku teringat, 5 tahun lalu di Bulan Maret pernah menulis puisi seperti ini :

Andaikan Aku Seorang Guru

Andaikan aku seorang guru sejarah…

saat mengajar budaya kuno yunani, alih2 menyuruh anak menghapal nama2 dewa aku akan mengajarkan bagaimana demokrasi lahir dan tumbuh di Athena..ketika masyarakatnya bisa menghargai pendapat orang lain.

Andaikan aku seorang guru ekonomi…

alih2 mengajarkan bahwa prinsip ekonomi adalah pencarian keuntungan setinggi-tingginya dengan pengorbanan sekecil2nya,aku akan mengajarkan bahwa belajar ekonomi berarti bagaimana agar kita bisa sejahtera bersama2

Andaikan aku seorang guru bahasa…

alih2 menyuruh anak menghapal jenis2 sajak dan penataan rima,aku akan menumbuhkan kecintaan berkarya dan apresiasi terhadap sastra agar anak didikku menghargai keindahan gagasan dan kemanusiaan yang tersirat dalam untaian kata serta cerita.

Andaikan aku seorang guru sosiologi…

alih2 menyuruh anak menghapal teori Auguste Comte dan teori2 interaksi sosial,aku akan menyuruh mereka terjun ke desa2, mengamati fenomena sosial, dan mengambil kesimpulan langsung akan nilai2 luhur yang dianut disana.

Andaikan aku seorang guru fisika…

alih2 menyuruh anak menghapal berbagai rumus,aku akan menanamkan pemahaman bahwa belajar fisika berarti memahami keindahan semesta dalam keteraturan dan keseimbangan gerak benda serta melatih pengambilan hipotesa saat anak didikku mengamati fenomena.

Andaikan aku seorang guru matematika…

alih2 menyuruh anak menghapal berbagai rumus geometri,aku akan menanamkan pengertian bahwa esensi belajar matematika adalah berlatih menggunakan logika yang terstruktur dalam memecahkan pelbagai permasalahan kehidupan.

Andaikan aku seorang guru biologi…

alih2 menyuruh anak menghapal jenis2 sel dan sistem organ,aku akan menanamkan pemahaman bahwa dalam tubuh manusia terkandung sistem koordinasi yang kompleks namun semua mengarah pada sebuah visi bersama.. inilah karunia tuhan yang maha kuasa dan kita bisa belajar banyak darinya.

Andaikan aku seorang guru geografi…

alih2 menyuruh anak menghapal nama2 tempat di belahan dunia,aku akan menanamkan pemahaman bahwa manusia dengan berbagai keragamannya memiliki keunikan budaya dan nilai2 kearifan lokal. agar mereka bangga karena nusantara kita pun kaya akan berbagai budaya luhur sejak dulu kala….

….

Kini aku adalah seorang guru. Ternyata, demikian susah menjadi guru yang dulu aku impikan, demikian berat menjadi guru yang baik.

Peristiwa siang tadi mengantarku pada ingatan bahwa aku pernah bercita menjadi seorang guru yang baik. Dan Allah mengabulkan apa yang pernah kutulis 5 tahun lalu. Semoga Allah menguatkan, karna guru yang baik adalah fondasi kebangkitan bangsa ini.

Aku tutup notes ini dengan menulis lirik lagu “Aku Papua”

Tanah Papua tanah yang kaya

surga kecil jatuh ke bumi

Seluas tanah sebanyak madu

adalah harta harapan

Tanah papua tanah leluhur

Disana aku lahir

Bersama angin bersama daun

Aku di besarkan

Hitam kulit keriting rambut aku papua

Hitam kulit keriting rambut aku papua

Biar nanti langit terbelah aku papua

Oooh…, Oooh…,

Tanah Papua tanah yang kaya

surga kecil jatuh ke bumi

Seluas tanah sebanyak madu

adalah harta harapan

Tanah papua tanah leluhur

Disana aku lahir

Bersama angin bersama daun

Aku di besarkan

Hitam kulit keriting rambut aku papua

Hitam kulit keriting rambut aku papua

Biar nanti langit terbelah aku papua

10-09-2012

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *