Samuel Huntington dalam pengantar bukunya yang berjudul culture matters berkisah tentang dua negara: Ghana dan Korea. Huntington terkejut melihat kemiripan indikator2 ekonomi kedua negara tersebut pada tahun 1960. Namun 50 tahun kemudian kondisi kedua negara jauh berbeda. Ghana tetap menjadi negara miskin sementara korea (Selatan) tumbuh menjadi negara industri yang kuat. Huntington menilai bahwa faktor budaya menjadi pembeda utama antara Ghana dan Korea.

Budaya adalah kunci kemajuan. Untuk membedah budaya suatu bangsa atau masyarakat kita perlu menggali elemen2nya seperti nilai, norma dan kepercayaan. Namun bagi saya yang tidak berlatar belakang ilmu sosial, cara mudah untuk membedah budaya adalah mengenali insentif sosial, sanksi sosial, dan glorifikasi tokoh.

Secara umum manusia selalu berusaha selaras dengan masyarakat (Fit to society). Kebanyakan orang akan melakukan hal-hal yang memberinya insentif sosial, menghindari hal-hal yang mengundang sanksi sosial dan secara alami akan meniru sosok atau tokoh yang dipuja (glorifikasi).

*****

Mengapa korupsi sulit diberantas? Karena tidak ada sanksi sosial yang kuat bagi pelaku korupsi. Bahkan terkadang masyarakat memberi insentif sosial pada koruptor. Waktu SD saya ingin menjadi pegawai pemda atau pajak. Sayangnya bukan karena niat tulus mengabdi pada negara. Pegawai pemda, pajak atau pegawai negeri lainnya tentu saja merupakan profesi yang mulia selama dijalani dengan baik.

Waktu kecil saya membaca kekaguman masyarakat pada orang-orang yang bekerja di tempat “basah”. Saya membaca kekaguman pada pegawai2 yang rumahnya sangat megah padahal gajinya tidak seberapa dan dia tidak punya bisnis.

Korupsi di Indonesia akan mudah diberantas jika pegawai2 yang kekayaannya “nggak logis” akan digunjing dan dicibir oleh tetangga seperti halnya orang2 di desa menggunjing tetangganya yang hamil diluar nikah. Korupsi di Indonesia akan punah jika abdi negara yang sumber kekayannya tidak jelas tidak dijadikan tokoh dan di”glorifikasi” sampai2 anak kecil seperti saya dulu pernah bercita-cita ingin kerja di tempat “basah”.

*****

ITB masih didaulat sebagai salah satu kampus terbaik di negeri ini. Meski demikian jaman saya kuliah dulu (tahun 2003) ITB tidak pernah merajai kompetisi PIMNAS (Pekan ilmiah nasional). Kenapa ITB dulu tidak pernah menjadi juara umum PIMNAS? Karena budayanya tidak mendukung. Tidak ada insentif sosial atau glorifikasi tokoh yang memadai bagi mahasiswa yang berprestasi secara akademis.

Pada masa itu aura reformasi masih sangat kental. Oleh karena itu, glorifikasi aktivis jauh melebihi glorifikasi prestasi akademis. Ketua himpunan jauh lebih terkenal dibanding peraih IP 4. Menjadi presiden kabinet jauh lebih bergengsi dibanding meraih Ganesha prize. Menjadi Danlap ospek lebih mentereng dibanding memenangkan pimnas.

*****

Semua sepakat bahwa negara kita membutuhkan banyak entrepreneur agar bisa melesat menjadi negara industri yang kuat. Namun mengapa pertumbuhan entrepeneur kita rendah? Lagi-lagi karena budayanya tidak mendukung.

Mayoritas penduduk Indonesia adalah suku Jawa. Orang Jawa menyukai harmoni dan stabilitas. Waktu saya kecil dulu, pegawai negeri lebih bergengsi dibanding juragan kerupuk sekalipun jauh lebih kaya. Bangkrut ketika berbisnis dianggap aib. Budaya Jawa tidak banyak memberi insentif sosial bagi para “risk taker”.

Barangkali orang Jawa perlu belajar dari Jewish. Israel adalah negara dengan jumlah start up perkapita tertinggi di dunia. Mereka memberi insentif sosial sangat tinggi kepada anak-anak muda yang berani mengambil resiko.

*****

Perubahan budaya di suatu masyarakat diawali dengan perubahan desain insentif sosial, desain sanksi sosial dan tokoh-tokoh yang diglorifikasi.

Oleh karena itu, mari kita mulai dari lingkungan sekitar kita. Kita ceritakan pada anak kita tentang Mohammad Hatta, seorang wakil presiden yang sampai meninggalnya masih menyimpan potongan iklan sepatu yang diinginkan tapi tak mampu dibelinya. Kita ceritakan tentang Gus Dur, presiden Indonesia dan ketua ormas terbesar yang pernah telpon anaknya hanya karena perlu uang 5 juta. Kita ceritakan pada anak kita tentang Jendral Hoegeng.

Kita tanamkan pada anak kita untuk tidak mengagumi tetangga A yang membangun rumah mewah melainkan pada tetangga B yang mewakafkan tabungannya untuk membangun musholla.

Kita tanamkan pada anak kita bahwa bangkut bukanlah aib. Bahkan orang yang berani mengambil resiko bangkrut adalah orang hebat.

Kita tanamkan pada kawan2 kita untuk tidak begitu kagum pada si A atau si B yang punya koneksi politik, melainkan pada si C yang memilih untuk mengabdi di gunung kidul atau si D yang mengabdi di daerah tertinggal lainnya.

Ketika saya kuliah dulu, salah satu alumni yang paling diglorifikasi adalah Heri Ahmadi, tokoh pergerakan 1978 yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.

Tentu saja ini hal yang bagus. Namun harapan saya kepada adik2 saya di ITB adalah untuk juga mengglorifikasi nama2 seperti Zaki dan Fajrin rasyid, alumni muda pendiri BukaLapak. Atau andi taufan yang mendirikan Amartha finance dengan fokus membantu pelaku usaha kecil dan menengah. Atau alumni2 muda lainnya yang punya sederet publikasi riset di Jurnal internasional.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *