Sepertinya lama saya tak menulis, barangkali karena kesibukan. Oleh karena itu, kini saya putuskan untuk menulis. Awalnya saya terhenyak, tak tahu apa yang ingin saya tulis.

Setelah merenung beberapa saat, baru saya sadari jika ada perubahan besar yang terjadi pada diri saya. Perubahan yang menggembirakan tentunya. Dan perubahan yang harus saya syukuri : Saya pikir saya telah menemukan kembali sisi kekanak-kanakan saya yang hilang. Perubahan yang ingin saya abadikan dengan tulisan ini.

Barangkali dulu saya adalah satu-satunya anak SD di Purwokerto yang gemar sekali ke perpustakaan daerah. Setidaknya dua kali setiap minggu saya bersepeda kesana, membaca beberapa buku dan mencatat apa yang saya baca. Buku tua tentang kimia menjadi magnet hingga saya betah berlama-lama disana.

Saya takjub dengan keajaiban kimia, saya pikir saya telah jatuh cinta dengan science. Satu cinta yang murni dan sederhana ketika saya belum bersentuhan dengan dunia kompetisi. SD saya bukanlah SD favorit; SD yang nyaris tanpa PR dan SD yang tidak punya sumber daya untuk mengadakan berbagai jam tambahan. Oleh karena itu, motivasi saya belajar atau bersepeda jauh ke perpustakaan daerah semata karena ingin memuaskan rasa ingin tahu.

Saat kecil dulu saya sering melakukan eksperimen mandiri. Favorit saya adalah bermain dengan magnet dan pasir besi. Mungkin terlihat simpel, namun saya bisa berjam-jam betah membuat pasir hitam menari dengan batang magnet.

Saat itu begitu indah, entahlah tiba-tiba saya melankolis.

****

Namun, rasa itu perlahan memudar. Ketertarikan alias rasa keingintahuan yang “murni” lambat laun menghilang. Saat saya beranjak SMP, saya masuk SMP favorit. Saya harus mengenyam belasan mata pelajaran dan terpapar iklim persaingan. Saya tak punya lagi waktu untuk bereksperimen. Dan yang menyedihkan, Hasrat “murni” untuk mencari tahu berganti dengan ambisi mendapat ranking satu. Gairah penasaran berganti dengan kepuasan ketika mendapat skor teratas.

Sebenarya, yang lebih membuat sedih lagi adalah ketika hal yang sama terjadi pada adik bungsu saya. Saya dengan adik bungu berbeda usia 14 tahun. Boleh dikata saya turut mengasuh adik hingga saya harus berangkat ke Bandung. Oleh karena itu, sedari awal saya sudah mencium bakat si bungsu bahkan sebelum dia divonis genius (IQ nya diatas 140).

Bukan hanya selalu lebih cepat dalam menyelesaikan puzzle, Si bungsu sudah bisa menyelesaikan persamaan linear 3 variabel saat kelas 3 SD. Kalau tidak salah saya baru belajar sistem persamaan linear 3 variabel saat saya SMA. Dan dia menyelesaikan persamaan linear 3 variabel bukan dengan metode standar seperti substitusi atau eliminasi. Dia hanya memasukan 3 angka dugaan awal, lantas secara iteratif mengubah2 angka hingga ruas kiri sama sama dengan ruas kanan; hanya dalam hitungan menit. Saya kira, dia punya “sense of number” yang luar biasa.

Saya tidak bisa melupakan nyala di mata si bungsu ketika dengan sangat antusias dia berkata : “Ayo mas, buatkan soal lagi!”

Nyala yang perlahan meredup, seperti yang saya alami.

Dan si bungsu pun lekas menjadi bintang ketika kelas 5 SD, saat dimana gerbang kompetisi terbuka lebar. Berbagai kompetisi berhasil ia menangkan, sampai kami punya lemari khusus piala di rumah.

Namun perlahan saya membaca dia mulai terbebani, Terbebani oleh ekspektasi guru, sekolah, orang tua dan bahkan saya. Terbebani rasa “harus” menang.

Dan saya kehilangan nyala di mata dia yang saya lihat ketika Ia kelas 3 SD. Nyala antusiasme akan matematika. Seperti saya kehilangan hasrat murni untuk beajar seperti ketika saya SD dulu. Satu gairah penasaran yang meletup letup, hasrat ingin tahu yang meledak-ledak.

****

Dua bulan terakhir saya jarang menulis, barangkali karena kesibukan saya dengan Fisika. Alhamdulillah, saya bersyukur mendapat pembimbing yang sangat supportive dan kaya alias memiliki banyak funding. Selama 4 tahun terakhir, total sekitar 12 kali saya mengikuti international conference/workshop/summer school/collaboration meeting. Angka yang jauh diatas rata-rata grad student pada umumnya.

Salah satunya adalah conference di South carolina yang berbarengan dengan Gerhana matahari total. Detik ketika saya menyaksikan peristiwa alam ini secara otomatis saya terpekik :”Oh my God, this is so beautiful!” lalu saya berdzikir dan tanpa sadar air mata saya meleleh. Indahnya solar eclipse dimata saya bukan sekedar indahnya penampakan cicin berlian melingkari bulatan hitam. Ada keindahan diantara perhitungan yang sangat presisi. Ada keindahan sains. Ada keindahan dibalik kesadaran bahwa Fisika adalah diantara ayat-ayat Tuhan yang Maha Kuasa.

Dua bulan terakhir saya banyak membaca, mencari tahu. Terlepas dari tuntutan paper atau graduation, semata karena ingin tahu; hanya karena penasaran.

Dua bulan terakhir saya kembali menemukan sisi kanak-kanak saya yang hilang.

Dan saya tersenyum bahagia ketika beberapa saat lalu adik saya menanyakan soal diluar materi pelajaran yang sedang berlangsung. “Alya kepo.” katanya. Semoga dia pun akan menemukan sisi kanak-kanak nya yang hilang

*****

Suatu saat Neil deGrassee tyson berbincang dengan seorang anak.

Anak : “Ketika aku dewasa nanti, aku ingin menjadi seorang scientist.”

Neil : ” Nak, kalau kamu ingin menjadi scientist, jangan pernah menjadi dewasa. Tetaplah menjadi anak-anak.” Bismillah.. I will stay in Physics, particle physics!

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *