Tersebutlah kisah nyata tentang satu keluarga di sebuah desa. Sang ayah bekerja sebagai buruh tani dan sang ibu terkadang membantu disawah atau bekerja sebagai buruh cuci. Mereka dikaruniai banyak anak. Salah satu anaknya sangat berpotensi, lulus smp dengan nem tertinggi di sekolahnya. Sayangnya setelah lulus smk dia tidak kuliah dan bekerja di toko. Saudaranya yang lain menikah dengan seorang tukang parkir dan juga dikaruniai banyak anak, salah satu anaknya bernama Andi (bukan nama sebenarnya) kini putus sekolah.

Kira-kira bagaimana kelak nasib Andi? Setelah kelak Andi berumah tangga, bagaimana kira-kira nasib anaknya?

*****

Saya selalu tertarik dengan tema “mobilitas sosial”, yakni bagaimana seorang anak yang lahir dari kalangan bawah serta akses yang serba terbatas bisa tumbuh dan berkembang menjadi orang yang masuk ke kalangan atas.

Sayangnya cerita2 semacam anak tukang becak yang berhasil S2 di Inggris tergolong unik dan jarang. Yang banyak terjadi adalah kisah2 seperti keluarga Andi. Seseorang yang lahir dan tumbuh dari kelompok berpendapatan dan berpendidikan rendah pada akhirnya juga menjadi orang yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.

Padahal mobilitas sosial merupakan prasyarat bagi Indonesia untuk loncat menjadi negara maju dan terhindar dari “middle income trap”.

Middle income trap adalah situsi sebuah negara berpendapatan menengah namun tak mampu menaikan pendapatan dan statusnya menjadi negara maju.

Pada awalnya sebuah negara yang baru tumbuh umumnya menjadikan upah buruh yang murah sebagai keunggulan untuk menarik investasi. Setelah ekonomi tumbuh dan kesejahteraan meningkat maka upah buruh pun meningkat. Kenaikan upah buruh ini membuat investor tak lagi tertarik menanam modalnya dan memilih untuk memindah pabriknya ke negara lain yang upah buruhnya lebih murah.

Hal ini tidak menjadi masalah jika negara tersebut memiliki keunggulan di sektor ekonomi lain selain manufaktur. Nyatanya dari 106 negara berpendapatan menengah pada tahun 1960, hanya 13 yang mampu naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2008.

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang de-Industrialisasi prematur dan revolusi industri 4.0. Sektor manufaktur kita terus melemah (deIndustrialisasi), banyak pabrik yang pindah ke Vietnam. Untungnya sektor2 lain seperti perdagangan, hotel dan restoran saat ini masih mampu sebagai penyangga. Namun di era industri 4.0, jika kita tak mampu beralih ke sektor ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) maka kita akan terjebak di middle income trap.

*****

Singapore tahun 1960an adalah singapore yang kumuh dan miskin. Dalam rentang lima dekade, singapore berhasil meningkatkan pendapatan per kapitanya dari $500 ke $50.000, menekan angka pengangguran hingga tercapai status full employment dan membawa universitasnya (NUS dan NTU) ke jajaran kampus top dunia. Seperti negara lain pada umumnya, dulu Singapore memulai dari industri berteknologi rendah seperti garmen dan wig. Kini Singapore bertumpu pada sektor keuangan dan ekonomi berbasis pengetahuan secara umum.

Menurut Ngiam Tong Dow, mantan menteri keuangan, perdagangan dan industri singapore, mereka fokus pada literasi dan numerasi selama dua puluh tahun pertama. Bahasa Inggris diajarkan ke seluruh etnis sedangkan bahasa ibu mereka yakni malay, mandarin dan tamil dijadikan bahasa kedua. Mereka percaya bahwa ketrampilan bahasa Inggris mempermudah akses ke sains dan teknologi.

*****

Berbicara tentang literasi dan pendidikan, ada hal menarik yang saya lihat dari anak saya yang kini bersekolah (kelas 1 SD) di Amerika.

Setiap hari anak saya cuma membawa satu PR yakni membaca satu buku dengan didampingi orang tua. Jadi sekolahnya menyediakan buku2 yang kemudian dipilih anak untuk dibawa pulang setiap harinya. Untuk kelas satu SD, bukunya tipis dan bisa selesai dibaca dalam waktu 15 menit. Setiap halaman berisi gambar besar dan beberapa kalimat sederhana semacam: “Beruang memiliki cakar yang tajam”.

Sepengetahuan saya, Amerika memiliki klasifikasi judul2 buku yang dikelompokan berdasarkan umur. Jadi PR bacanya bermula dari buku2 tipis penuh gambar untuk kelas 1 SD hingga buku2 karya Ernest Hemmingway dan Mark Twain untuk anak SMA.

Disamping membaca, anak saya juga didorong untuk banyak menulis. Setiap hari senin anak saya diminta untuk menulis aktivitas yang dilakukan selama akhir pekan. Contoh lainnya adalah ketika ada satu anak yang berulang tahun, teman lainnya diminta untuk menulis harapan dan doanya. Pada intinya, guru kelasnya membuat berbagai aktivitas menulis bebas (tanpa penilaian benar salah).

Hal-hal sederhana tersebut bisa kita tiru untuk meningkatkan literasi anak-anak Indonesia.

*****

Lantas apa yang bisa kita lakukan atau perjuangkan untuk meningkatkan tingkat literasi anak2 Indonesia agar kelak kita bisa keluar dari middle income trap dan menjadi pemenang di era revolusi industri 4.0?

Saya merasa tidak begitu hebat ketika mencapai posisi seperti saat ini, yakni mendapat gelar sarjana dari ITB dan mendapat gelar PhD dari Amerika. Alhamdulillah, ayah saya berkecukupan untuk membiayai saya dulu hingga S1. Uang jajan saya dulu juga cukup untuk pergi ke warnet dan mengakses berbagai informasi. Ayah saya pun mampu membiayai saya untuk les bahasa Inggris dan bimbel persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Lompatan mobilitas sosial saya tidak begitu jauh.

Yang hebat adalah Istri saya. Kedua orang tua istri saya bahkan tidak memiliki ijazah SD. Istri saya masuk ITB tanpa bimbel karena nggak ada biaya. Dan pada akhirnya berangkat ke Bandung modal nekad. Sempat nyaris putus kuliah di tahun pertama, lalu Alhamdulillah bertahan berkat bantuan orang tua asuh, beasiswa, support kawan dan mengajar privat. Beberapa kali menahan lapar dalam makna sebenarnya karena nggak punya uang sama sekali. Alhamdulillah akhirnya istri saya berhasil lulus dari ITB dan berkesempatan bekerja di oil company sebelum menyusul saya ke Amerika.

Istri saya adalah contoh nyata mobilitas sosial. Lantas bagaimana menduplikasi success story ini agar kelak anaknya Andi yang saya ceritakan di paragraf pertama juga bisa lepas dari jerat kemiskinan dan mengalami mobilitas sosial?

*****

Ayah dari istri saya dulu berjualan koran dan majalah. Oleh karena itu, istri saya sejak kecil biasa ikut “nebeng” baca berbagai majalah (seperti majalah bobo). Ternyata akses dan kebiasaan membaca ini berpengaruh besar pada istri saya.

Ternyata lagi-lagi kata kuncinya adalah literasi.

Oleh karena itu, saya pernah menawarkan buku2 saya dan buku2 anak saya untuk dikelola di masjid dan dijadikan taman bacaan di desa saya.

Saya memimpikan gerakan “pojok literasi” tersebar di seluruh Indonesia. Jadi bagi kawan2 yang memiliki banyak buku juga waktu senggang, satu hal baik yang bisa dilakukan adalah membuat taman bacaan mini untuk anak2 tetangga.

Siapa tahu dari hal kecil ini akan muncul anak2 yang kelak mengalami mobilitas sosial vertikal dan memotong lingkar kemiskinan di keluarganya.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *