PISA (Programme for International Student Assesment) adalah tes yang ditujukan untuk siswa-siswi berusia 15 tahun di seluruh dunia yang diadakan setiap 3 tahun sekali. Tujuan dari tes ini adalah mengukur kemampuan baca, matematika serta sains para siswa sebagai bahan evaluasi kebijakan pendidikan.

Tes ini diselenggarakan oleh OECD (Organization for economic cooperation and development). Oleh karena itu, tes ini dianggap valid dan kredibel untuk mengukur kualitas pendidikan dasar dan menengah suatu negara. Tes PISA pertama yang diselenggarakan pada tahun 2000 membuat “PISA shock” di Jerman dan memantik pemerintah Jerman untuk membuat standar nasional dan lembaga yang mengawasinya.

Saking pentingnya tes ini, dokumen bank dunia menyebutkan bahwa kenaikan skor 50 poin di tes ini berimbas kenaikan pertumbuhan ekonomi sekitar 0.93% per tahun.

Bagaimana hasil tes PISA untuk siswa2 Indonesia? Sayangnya tidak menggembirakan. Indonesia menduduki peringkat 62 dari 70 negara yang dites. Skor PISA dikelompokan menjadi 6 level (level 1 paling rendah, level 6 paling tinggi). 55.4 % siswa Indonesia berada di level 1 yang didefinisikan sebagai “functional illiterate” alias bisa baca tapi tidak bisa menangkap inti gagasan pada teks yang dibaca, tidak cakap dalam menafsirkan grafik, tidak terampil menangkap pola dan sebagainya.

Pada intinya, kemampuan “critical thinking” siswa kita tidak mumpuni. Hal ini sejalan dengan data yang menunjukan bahwa dalam rentang 2011-2016, 65% lapangan kerja baru berasal dari sektor ekonomi yang produktifitasnya rendah.

Kita tidak bisa menghadapi revolusi industri 4.0 dengan situasi seperti ini. Lantas harus bagaimana?

*****

Coba kita ingat bagaimana kita belajar penjumlahan semisal 57+25 saat kita SD. Barangkali yang kita lakukan adalah menerapkan seperangkat aturan yang berbunyi:

1. Tulis dua kumpulan angka tersebut secara bersusun.

2. Jumlahkan angka paling kanan terlebih dulu. Jika lebih dari 10, tulis satuannya aja lantas tulis angka 1 diatas angka sebelah kiri.

3. Jumlahkan angka2 sebelah kiri.

Belajar penjumlahan menjadi belajar menerapkan tiga aturan diatas.

Coba kita ingat bagaimana kita belajar aljabar semisal 3x – 4 = 5 saat SMP. Barangkali yang kita lakukan adalah menerapkan seperangkat aturan yang berawal dari aturan “pindah ruas” tanpa memahami sebab musababnya.

Coba kita ingat bagaimana kita belajar memecahkan diferensial dari x^2 saat sma. Barangkali (lagi-lagi) yang kita lakukan adalah menerapkan aturan yang berbunyi: “turunkan pangkatnya lalu pangkatnya dikurangi satu.”

Tanpa mengurangi rasa cinta, sayang, hormat, takzim dan doa saya pada seluruh guru beserta stake holder pendidikan di Indonesia, bayangkan besarnya “damage” yang terjadi pada anak yang selama 10 tahun lebih terlatih untuk sekedar menerapkan “seperangkat aturan”.

Maka saya tak heran ketika siswa2 kita gagap berhadapan dengan dengan soal2 PISA semacam ini:

Terdapat dua lereng bukit bersebelahan, A dan B. Kedua bukit ini memiliki vegetasi yang berbeda. Bukit A terlihat lebih rimbun dibanding bukit B. Untuk menginvestigasi hal tersebut seorang siswa menggunakan tiga alat ukur yakni alat ukur radiasi matahari, kelembapan tanah, dan curah hujan. Lantas siswa tersebut meletakan dua alat ukur radiasi matahari, dua alat ukur kelembapan tanah dan dua alat ukur curah hujan di masing-masing lereng.

Pertanyaanya adalah: “Mengapa siswa tersebut meletakan sebanyak dua alat untuk masing2 alat ukur di setiap lereng?

******

Kemarin saya menulis tentang de-industrialiasi prematur dan revolusi industri keempat, terutama tentang dampak dan tantangannya. Ada pertaruhan besar di depan kita. Saya khawatir dengan kualitas SDM yang kita miliki saat ini, kita akan kalah dalam pertarungan industri 4.0.

Lantas apa yang harus kita lakukan? Ada 5 hal kunci yang harus kita bangun. Dan sama seperti postingan sebelum ini tentang deIndustrialisasi prematur, 5 hal kunci ini pun akan saya sambung di tulisan berikutnya.

(Bersambung)

******

Tiba-tiba saya teringat puisi yang dulu saya buat ketika kuliah di Bandung:

Andai Aku Seorang Guru

Andaikan aku seorang guru sejarah…

saat mengajar budaya kuno yunani, alih-alih menyuruh anak menghapal nama-nama dewa, aku akan mengajarkan bagaimana demokrasi lahir dan tumbuh di Athena..

Ketika masyarakatnya bisa menghargai pendapat orang lain.

Andaikan aku seorang guru ekonomi…

Alih-alih mengajarkan bahwa prinsip ekonomi adalah pencarian keuntungan setinggi-tingginya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.

Aku akan mengajarkan bahwa belajar ekonomi berarti bagaimana agar kita bisa sejahtera bersama-sama.

Andaikan aku seorang guru bahasa…

Alih-alih menyuruh anak menghapal jenis-jenis sajak dan penataan rima,

aku akan menumbuhkan kecintaan berkarya dan apresiasi terhadap sastra agar anak didikku menghargai keindahan gagasan dan kemanusiaan yang tersirat dalam untaian kata serta cerita.

Andaikan aku seorang guru sosiologi…

Alih-alih menyuruh anak menghapal teori Auguste Comte dan teori-teori interaksi sosial,

aku akan menyuruh mereka terjun ke desa-desa, mengamati fenomena sosial, dan mengambil kesimpulan langsung akan nilai-nilai luhur yang dianut disana.

Andaikan aku seorang guru fisika…

Alih-alih menyuruh anak menghapal berbagai rumus,

aku akan menanamkan pemahaman bahwa belajar fisika berarti memahami keindahan semesta dalam keteraturan dan keseimbangan gerak benda serta melatih pengambilan hipotesa saat anak didikku mengamati fenomena.

Andaikan aku seorang guru matematika…

Alih-alih menyuruh anak menghapal berbagai rumus geometri,

aku akan menanamkan pengertian bahwa esensi belajar matematika adalah berlatih menggunakan logika yang terstruktur dalam memecahkan pelbagai permasalahan kehidupan.

Andaikan aku seorang guru biologi…

Alih-alih menyuruh anak menghapal jenis-jenis sel dan sistem organ,

aku akan menanamkan pemahaman bahwa dalam tubuh manusia terkandung sistem koordinasi yang kompleks namun semua mengarah pada sebuah visi bersama.. inilah karunia tuhan yang maha kuasa dan kita bisa belajar banyak darinya.

Andaikan aku seorang guru geografi…

Alih-alih menyuruh anak menghapal nama-nama tempat di belahan dunia,

aku akan menanamkan pemahaman bahwa manusia dengan berbagai keragamannya memiliki keunikan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal. agar mereka bangga karena nusantara kita pun kaya akan berbagai budaya luhur sejak dulu kala….

****

Tulisan ini adalah kritik tanpa sedikitpun mengurangi penghargaan dan kecintaan saya terhadap seluruh Guru yang telah berjuang dengan Ikhlas di Indonesia.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *