Seringkali Allah memberi manusia dua pilihan yang saling terpaut atau komplementer. Barang siapa yang menahan, mengurangi atau meniadakan maka Ia akan meraih dan mendapatkan.

Maka di pesantren2 yang sering diLabeli sebagai tradisional, terkadang sebelum seorang Santri bergelut dengan ilmu (gusdur contohnya), terlebih dulu Ia dididik untuk “tirakat”.

Tirakat berarti menahan, mengurangi. Lazimnya, tirakat berawal dari perut.

Karena pangkal syahwat adalah perut dan kemudian berlanjut pada apa yg dibawah perut, maka mengendalikan perut adalah pangkal keutamaan.

Oleh karena itu, disamping menjalani puasa sunnah, pelaku tirakat punya “laku” tambahan dalam menggembleng dirinya.

Syahdan, ulama dan wali besar Kyai cholil bangkalan sering makan hanya dengan kulit semangka ketika beliau menuntut ilmu di Mekkah.

Dan jika orang Jawa familiar dengan istilah ngasrep, mutih, ngrowot, saya baru menemukan di ringkasan Ihya Ulumuddin bahwa ternyata ulama dan sufi terdahulu pun suka (misalnya) menjauhi garam/ngasrep.

Sebagai laku tambahan disamping puasa, tirakat ini bertujuan untuk menghilangkan sama sekali hasrat akan kelezatan makanan, sebagai langkah awal menjauhi semua hasrat kelezatan duniawi.

Maka lazimlah Rasul, sahabat, tabiin dan ulama serta sufi terdahulu asupan makannya hanya beberapa gelintir suap asal bisa menegakan tulang punggung (pernah selama 3 purnama tak ada api menyala di rumah Rasulullah).

Pun mereka makan biasa hanya dengan kurma dan air, atau roti dan minyak samin.

Dan tirakat seperti ini berbuah kejernihan hati, juga ketajaman pikir. Oleh karena itu, sekian ratus tahun lalu di masa keemasan Islam, bertebaranlah nama nama ulama ahli agama, fiqih sekaligus ahli matematika, aljabar, kedokteran, filsafat dan sebagainya.

Saya yakin nama2 besar di zaman keemasan Islam menjalani laku tirakat sebagai ajang latihan jiwa hingga mereka “terputus” dari hasrat dunia. Dan kemudian Allah menganugrahi ketajaman fikir yg tidak ada bandingannya dijaman sekarang.

Allah juga menganugerahi “kepekaan”, saking pekanya syahdan hapalan Imam Syafii pernah lenyap hanya gegara memandang betis seorang wanita. Kepekaan ini adalah cara Allah agar mereka “terjaga”.

Dan mereka hapal AlQuran, ribuan hadits, memahami tafsir sampai ilmu2 dunia seperti kedokteran.

Dengan demikian, khazanah klasik yang sering dianggap “tradisional” seperti Kitab Ta’limul Mutaalim, Ihya Ulumuddin atau kitab2 “kuning” lainnya hendaknya dihidupkan kembali.

Agar Ilmu tak sekedar menjadi Knowledge, melainkan mendapat Barokah Allah juga sepaket dengan bagusnya Akhlak yang memilikinya.

Jika Barakah ilmu, pencari ilmu, majelis ilmu sudah didapat, Semoga Allah kembali menganugrahi “peradaban emas” kepada umat Islam.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *