Disuatu kampung di Banyumas tersebutlah dua keluarga yang menjual minuman keras, sebutlah keluarga A dan B. Hingga suatu saat salah seorang dari keluarga A meninggal dunia. Kebetulan pada saat penggalian makam, air mengucur deras dari dalam makam. Sampai-sampai ada orang yang nyeletuk ” Kelelep Ciu” (kelelep = tenggelam, ciu = jenis miras).

Namanya juga diKampung, istilah “kelelep ciu” ini sontak menyebar ke seantero RT, menjadi bahan perbincangan yang Hot. Mendengar hal ini, keluarga B pun ketakutan. Mereka mengira ini adalah azab karena menjual minuman keras. Singkat cerita, pasangan suami istri B pun bertobat dan berhenti menjual minuman keras, serta mulai datang ke masjid. AlhamduLillah..

Saya tidak ingin membahas peristiwa keluarnya air dimakam A atau mengaitkanya dengan azab, karena pada dasarnya hanya Allah yang maha mengetahui. Saya ingin membahas tentang pertobatan si B.

Pertanyaannya, kenapa Allah memilih B dan bukannya A? Pertanyaan ini mirip seperti ketika Rasul berdoa agar Islam dikuatkan dengan salah satu dari Umar bin Khatab atau Abu Jahal, kenapa Allah memilih Umar bin Khatab alih2 Abu Jahal?

Hidayah itu misterius. Murni pemberian dari Allah. Maka yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa dan bersyukur. Bersyukur bahwa kita masih puasa, bersyukur bahwa kita masih shalat, setidaknya bersyukur bahwa kita masih ingat Allah.

****

Allah memerintahkan hamba-Nya agar pandai bersyukur. Dan syarat pertama dari syukur adalah ikhlas menerima bahwa segala karunia semata karena pemberian Allah, tak ada peran diri didalamnya. Hal yang mudah diucap namun sangat sulit dilakukan.

Kadang tanpa sadar kita bangga dengan amalan. Contohnya, ketika saya melihat “kelakukan ajaib” beberapa kawan di Medsos, atau “kelakukan” tetangga di kampung, tanpa sadar mengalir rasa “Saya lebih baik dari mereka”. Padahal saya (saat ini) tidak melakukan hal “ajaib” tersebut juga semata karena Allah, tidak ada peran diri didalamnya. Tidak ada jaminan bahwa ketika saya shalat, dzikir dll tidak mengalir rasa bangga dengan amalan (ujub).

Makanya betul kata Quraish shihab, masuk surga itu memang semata Rahmat Allah. Maksiat lahir seperti zina, korupsi lebih mudah dihindari karena terlihat nyata. Maksiat hati seperti ujub (bangga) dan riya sangat susah dihindari karena halus. Maka yang bisa kita lakukan hanya berlindung kepada Allah. Seperti doa munajatnya Abu Nawas.

****

Bersyukur dengan menanamkan pada diri bahwa semua semata dari Allah memang tak mudah. Akhir2 ini perasaan saya sedang “up” karena mendapat postdoc dan sedang “down” karena gagal ujian sim sampe 3 kali.

Sahabat Umar bin Khatab bernah berkata bahwa bagi dia, nikmat atau musibah terasa sama karena sama2 menjadi jalan menuju Allah.

Jadi seharusnya perasaan saya seharusnya “rata-rata sama” ketika mendapat postdoc atau gagal ujian sim mobil. Namun tidak menafikan bahwa ada rasa bangga yang mengalir di hati ketika saya mendapat postdoc dengan (AlhamduLillah) relatif mudah. Bukankah semuanya semata karunia Allah? tak ada peran diri didalamnya. Astaghfirullah..

Jadi seharusnya saya tidak perlu down ketika saya gagal ujian sim. Ada ketakutan jika saya terus gagal mendapat sim, bagaimana nanti saya travel ke Fermilab dan JLab? Namun bukankah Allah maha mencukupi kebutuhan? kenapa saya khawatir? Astaghfirullah..

****

Guru saya sedang diuji dengan sakit Jantung. Beliau berkata bahwa sekarang beliau tidak boleh terlalu senang dan tidak boleh terlalu sedih.

“Bagaimana caranya?” tanya saya.

“Ya itu yang namanya Makrifat” Kata beliau.

Namun saya sadar, hal-hal semacam ini nggak bisa loncat. Ada syariat2 yang harus dijalani dengan sabar dulu, kalau istilahnya orang pesantren: “Riyadhoh”.

Maka mulailah dengan fokus memperbanyak amalan2 seperti Qiyamul lail, dzikir, puasa dll dengan disiplin. Sambil berdoa semoga Allah menyampaikan dan berjodoh.

Bismillah..

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *