Jika sebelumnya saya bercerita tentang Bill Foster, kini saya ingin bercerita Neil Turok. Saya sempat berbincang sejenak dengan beliau di APS meeting lalu di Washington DC. Jika Bill Foster yang sekaligus merupakan Bisnisman, Politikus dan Fisikawan membuka mata saya bahwa “excell” di berbagai bidang sekaligus bukanlah hal yang mustahil, maka Neil Turok memberi teladan bagaimana seorang Fisikawan memberi sumbangsih pada pendidikan dan perubahan sosial di Afrika.

Neil Turok lahir di Afrika selatan. Orang tua Neil pernah dipenjara oleh rezim Apertheid gara-gara berjuang bersama Mandela. Neil adalah Fisikawan ternama, dia pernah menjadi professor di Princeton dan menjadi Chair di Cambridge. Saat ini Neil adalah direktur Perimeter Institute for Theoretical Physics.

Mimpi utama Neil adalah melahirkan Einstein dari Afrika. Bermodal bekas hotel yang Ia beli dari kantong pribadinya, Neil mendirikan African Institute for Mathematical Sciences (AIMS). AIMS menyelenggarakan pendidikan Master dengan beasiswa penuh bagi siswa di dataran Afrika. Lantas alumni AIMS didorong untuk mengambil PhD di kampus2 ternama melalui jejaring yang telah Neil bangun. Saat ini AIMS sudah berdiri di beberapa negara di Afrika.

Setelah kemarin saya menulis tentang Bill Foster, ada poin penting yang disampaikan oleh kawan saya. Intinya adalah meski excellent di berbagai bidang itu bukan hal mustahil, namun seseorang yang multi talent lazimnya fokus dan excell dulu di satu hal.

Terkait dengan kisah tentang Neil Turok, Neil tidak akan bisa membangun dan membesarkan AIMS jika dia bukanlah seorang chair di cambridge atau mantan Professor di Princeton. Dan Neil tidak akan bisa menjabat di dua kampus hebat tersebut kalau dia tidak memiliki track record publikasi fisika (paper) yang sangat kuat. Dengan kata lain Neil lebih dulu sukses sebagai Fisikawan. Demikian juga dengan Bill Foster. Bill tidak akan mendapat dukungan dari komunitas scientist kalau Bill tidak punya reputasi hebat sebagai Fisikawan partikel.

In summary, fokus dulu di satu titik sampai kita memiliki reputasi sebagai “expert” di satu bidang. “Kita tidak bisa mengasah dua mata pisau secara bersamaan.” demikian kata pembimbing saya di ITB dulu Prof. Bobby Eka Gunara .

Persaingan di Amerika sangatlah ketat, hanya sekitar 15% dari graduate student yang pada akhirnya mendapat posisi di Research Instution (Research university atau National Lab). Sudah banyak artikel yang mengupas nasib para postdoc abadi, terkatung-katung memperebutkan posisi assistant professor.

Mudah-mudahan saya menjadi bagian dari 15% tersebut. Dalam artian ketika nanti saya pulang ke Indonesia, semoga saya pulang ketika sudah memiliki keahlian, kapasitas, kapabilitas dan kelayakan sebagai seorang Assistant Professor di US.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *