Kawan, Mari kita ubah (Don’t accept the default)

Bismillah..

Sebelumnya, ada dua kisah lucu yang ingin saya ceritakan disini. Cerita pertama saya ambil dari buku “Culture Matters : How values shape human progress.”

Alkisah satu konsultan bisnis sedang melakukan riset tentang daya saing produk tas kulit dari Columbia. Setelah melakukan riset di NewYork mereka menemukan bahwa tas kulit columbia kualitasnya rendah namun harganya mahal. Mereka pun menelusuri rantai supply tas kulit untuk menemukan sebab rendahnya daya saing produk mereka.

Pertama mereka mendatangi pabrik tas kulit. Para pemilik pabrik mengatakan bahwa ini bukan salah mereka, melainkan salah suplier kulit dari para penyamak di Columbia. Sebenarnya Argentina punya kualitas kulit yang jauh lebih bagus. Namun adanya proteksi tarif dari pemerintah columbia mengakibatkan harga kulit impor dari Argentina melambung tinggi.

Sang konsultan pun mendatangi para penyamak kulit di Columbia. Disana mereka menemukan para panyamak mengotori lingkungan dengan cairan kimia. Namun mereka juga berkata : “Ini bukan salah kami.” Menurut mereka yang salah adalah tempat jagal yang mensupply kulit sapi. Kata para penyamak, si tukang jagal lebih suka menjual daging sehingga tidak hati-hati dalam menguliti hewan. Walhasil para penyamak banyak mendapat kulit yang sudah rusak.

Sang konsultan pun mendatangi para tukang jagal. Lagi-lagi mereka berkata “Ini bukan salah kami, ini salah paternak. Mereka mengirimkan sapi2 yang rusak kulitnya.”

Terakhir, sang konsultan mendatangi para peternak. Dan mereka pun bilang : “Ini bukan salah kami, ini salah nya sapi” Kata peternak sapi-sapi mereka terlalu bodoh. Sapi suka menggosok kulitnya ke kawat berduri untuk mengusir lalat.

Sang konsultan pun frustasi setelah mendapati bahwa rendahnya daya saing produk tas kulit columbia disebabkan karena sapi yang bodoh.

Apa yang salah?

******

Cerita kedua saya ambil dari buku “Originals”. Michael Housman, seorang ekonom terkemuka suatu saat meneliti ribuan Customer service yang menangani bank, maskapai dan perusahaan telepon selular. Michael ingin meneliti faktor2 penentu performa mereka. Ketika Michael menelusuri data customer service sejak mereka melamar ke perusahaan, dia menemukan satu hal yang menarik dan lucu.

Michael menemukan bahwa customer service yang menggunakan browser Chrome dan Firefox (ketika melamar) memiliki performa jauh lebih baik dibanding pengguna internet explorer dan safari. Korelasi antara performa kerja dan jenis browser yang dipakai terlihat sangat kuat.

Apa hubungannya?

*****

Terkait kisah pertama, Michael Fairbanks menyimpulkan bahwa rendahnya daya saing produk tas colombia disebabkan oleh faktor budaya. Sederhananya adalah budaya saling menyalahkan. Mereka menerima suatu permasalahan sebagai hal yang lazim, lumrah atau kaprah (sounds familiar?). Jika ada yang salah maka yang salah adalah pihak lain, entah pemerintah entah pesaing entah yang lainnya kecuali saya.

Sederhananya, mereka “Accepting the default” alias menerima kelaziman sebagai hal yang lumrah.

Kisah kedua juga masih ada kaitannya dengan budaya. Tentu saja Michael tidak menyimpulkan bahwa browser mempengaruhi performa kerja. Yang terjadi adalah jenis browser mencerminkan perilaku pemakainya.

Internet Explorer dan Safari adalah browser yang tersedia ketika kita membeli windows atau Mac. Untuk menggunakan chrome atau firefox, seseorang harus melakukan beberapa langkah tambahan (download). Singkat kata, Internet Explorer dan Safari kebanyakan dipakai oleh orang-orang bertipe “Accepting the default.” Sebaliknya, Chrome dan firefox banyak dipakai oleh orang yang cenderung suka berinovasi, mempertanyakan status quo atau bahkan pemberontak.

*****

Kali ini mantra yang ingin saya perkenalkan adalah “Accepting the default” alias menerima kelaziman sebagai hal yang lumrah. Bukan untuk dipakai melainkan justru untuk dihindari. Dengan kata lain mari kita menjadi orang2 yang tidak menerima kelaziman sebagai hal yang lumrah.

Mengapa ini penting? Sejarah menyodorkan kita berbagai fakta yang menunjukan bahwa peradaban dunia dihela oleh orang atau kelompok yang tidak menerima kelaziman sebagai hal yang lumrah. Dunia ini digerakan oleh orang2 yang tidak “Accepting the default”.

Mulai dari mana?

Mari kita lihat sekitar kita, rutinitas harian kita. Lantas kita telaah apa saja kelaziman yang kita anggap lumrah. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang bisa kita ubah? Sekecil apapun skalanya.

*****

Ketika saya pulang ke Balikpapan, merupakan suatu kelaziman setiap sore kawan2 sepermainan Arya berkumpul di rumah (berhubung Arya punya banyak sekali mainan). Itu adalah default situasi setiap sore di rumah. Suatu saat saya membeli dua box donat untuk mereka. Setelah itu saya mendongengkan kisah Rasul dan para sahabat. Setidaknya biar anak-anak mendapat manfaat lebih. Sayang hal ini tidak berlanjut karena tentu saja saya harus kembali ke Amerika.

Merupakan suatu kelaziman (default) PhD student di bidang fisika partikel lulus dengan satu paper sebagai main author. Namun saya mentargetkan untuk lulus dengan lima paper sebagai main author Insya Allah.

Merupakan suatu kelaziman (default) seorang dewasa tidur sekitar 7 jam sehari. Bismillah.. saya sedang berikhitiar untuk mencapai rata-rata 3 atau 4 jam sehari.

Dan sebagainya..

*****

Bukankah Allah berfirman dalam surat Ali-Imron : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…….”

Maka mari kita mempertanyakan kelaziman yang ada pada diri dan sekitar kita, lantas perlahan kita ubah; apapun skalanya. Agar kita menjadi ilmuwan hebat, bisnisman hebat, insinyur hebat, guru yang hebat dsb.

Agar kita memimpin gerak dunia, karena gerak dunia dikendalikan oleh orang-orang yang tidak “Accepting the default”

Dan agar kita tidak menjadi buih

-Tallahassee, dini hari yang sendu –

Mendung di Langit Suriah, semoga Allah menguatkan mereka.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *