Ada pertanyaan kecil yang mengusik saya sejak lama. Generasi saya (usia 35an) adalah generasi yang mengalami era transisi, yakni era sebelum dan setelah booming internet.

Dan salah satu hobi generasi saya adalah bernostalgia diera 90an dan 2000an awal, yakni era awal booming HP dengan berbagai promo sms/call yang unik seperti “under three second”.

Perbincangan masa lalu era 90an – 2000an awal selalu mengasyikan. Eranya boyzone, masanya berkirim surat cinta yang diselipkan ditengah buku, mungkin era berkirim salam lewat radio, atau eranya antri di wartel dan sebagainya.

Bernostalgia selalu mengasyikan.

Problem dan pertanyaan yang mengusik saya adalah kita berada diusia yang belum saatnya bernostalgia. Kita berada diusia yang kata orang Jawa sedang “senang senangnya hidup”. Usia dimana kita menuju puncak pertarungan dan pertaruhan. Masa yang seharusnya menjadi puncak keindahan untuk dikenang 10 hingga 20 tahun mendatang.

Sekiranya 15 tahun mendatang kita bernostalgia dan jika yang menjadi objek nostalgia lagi-lagi era 90an-2000an awal maka ada yang salah dengan zaman ini.

Apakah berbagai kemudahan buah dari booming internet justru tidak menambah kebahagiaan?

Sekarang betapa mudah mendengar lagu favorit, dibanding dulu ketika kita harap2 cemas lagu kesukaan kita diputar diradio. Namun tetap saja lagu2 90an-2000an lebih “sticky” dikepala dibanding lagu2 kekinian.

****

Saya tidak menafikan begitu banyak berkah dari era sekarang. Saya bisa mengaji online meski secara fisik jauh dari pesantren, saya bisa berkomunikasi intens dengan keluarga di tanah air dan saya bisa membaca buku tanpa harus melangkah ke perpustakaan.

Namun banyak pula problem baru yang muncul. Saat ini banyak sekali buku-buku tentang produktifitas yang terbit. Nyaris semuanya mengupas satu masalah besar yakni “distraction”. Buku2 tersebut mengulas problem manusia jaman sekarang yang susah melakukan “deep work” atau “deep focus”.

“Attention span” yang rendah, membuat orang lebih suka membaca tweet, artikel pendek atau bahkan hanya judulnya aja (lalu share) tanpa membaca utuh tulisan. Jangankan “deep work”, membaca tulisan panjang yang memerlukan waktu belasan menit saja terkadang orang enggan.

Saya termasuk orang yang kena penyakit ini. Saat ini susah sekali saya bekerja 4 jam tanpa henti, tanpa distraksi dan tanpa interupsi. (Lalu saya kembali bernostalgia saat saya ikut kompetisi Fisika jaman sekolah, saat saya bisa duduk belajar tanpa henti dan hanya jeda untuk Shalat dan makan).

****

Jadi apakah berbagai kemudahan era ini membuat orang tambah bahagia? mungkin saya baru tahu jawabannya 20 tahun kedepan. Jika saya berkumpul dengan kawan2, lalu yang kita kenang lagi-lagi era 90an-2000an awal, barangkali memang ada yang salah dengan zaman ini.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *