Jumat malam, saya, seorang kawan dari Indonesia, serta tetangga apartemen yang saya juluki si Tukang mabuk berbincang di samping kolam. “So, How was your day?” tanya si tukang mabuk sambil membuka kaleng Bir yang entah kesekian kalinya.

“As usual.” kataku, lantas aku tambahkan kalau kemarin saya ngampus sampai jam satu dini hari, kemudian pulang ke apartemen, makan dan lanjut kerja sampai jam 5 pagi. Lantas lanjut kerja lagi start jam 10 pagi sampai sore, sebelum berburu free coffee dan dan free food di International coffe hour.

Lantas dia bertanya, kenapa saya bisa kerja dengan ritme seperti itu. Saya cuma menjawab kalau saya tidak se brilian dia. Saya hanya seorang mediocre, that’s why I need to push my self so hard.

Tidak bisa dipungkiri kalau saya iri dengan si Tukang mabuk itu, Dalam dua bulan dia publish paper di High impact journal meski dari luar nampak kerjaanya hanya nge-Beer, nge-Wine dan nge-Gym. Tapi barangkali saya salah, dan memang saya telah salah menilai.

Kawan saya ini mendapat gelar masternya di Stratsbourg, satu kota di perbatasan Perancis-Jerman yang kini menjadi wilayah Perancis (kata Professor saya, Stratsbourg dalam sejarahnya selalu berganti kepemilikan antara Perancis-Jerman). Sebagai mantan pelajar yang mencercap lingkungan Jerman, pada akhirnya saya simpulkan kalau cara kerja kawan ini selaras dengan “German way”.

Bisa dibilang saya terobsesi dengan Amerika, Jerman dan Jepang sejak saya membaca statement Habibie yang kurang lebih isinya : “Kalau saya punya (Sekian) orang Indonesia seperti orang Amerika, Jerman atau Jepang maka saya bisa membuat apapun.” Itulah salah satu alasan kenapa saya memilih pembimbing Professor seorang Jerman. Saya berharap dengan berada di Lingkungan Amerika namun mendapat bimbingan langsung seorang Jerman, saya dapat menangkap saripati Amerika serta Jerman (yang baik tentunya) dan semoga dapat diaplikasikan kelak di Indonesia.

Jadi, kawan saya ini kerja dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam, senin sampai jumat. Khusus hari sabtu biasanya dia berangkat agak siang (sekitar jam 9 pagi). Namun, kerja bagi dia adalah betul-betul “kerja”.

Ketika dia kerja, maka semua fokus dan konsentrasinya memang hanya untuk kerja. No Facebook, No skype, No youtube, only works. Bahkan yang membuat saya semakin kagum, meski dia sebenarnya seorang perokok berat tapi ke dia ke kampus (selama 12 jam) tidak membawa satu batang rokok pun. Bagi dia, kerja ya kerja. Dengan kata lain, dia tidak menolerir waktu yang terbuang bahkan untuk sekedar 5 menit menghisap rokok. Dia mengambil waktu satu jam istirahat untuk makan dan tidur siang sejenak sambil duduk.

Kemudian sepulangnya dari kantor, dia tidak menyentuh satu kerjaan pun. Dia hanya menyentuh bir, tembakau, skype dan Facebook. Akhir pekan dia habiskan dengan mencoba berbagai bar di Tallahassee. Betul-betul Work hard, play hard.

Ritme dia sejalan dengan ritme Professor saya. Datang pagi, fokus kerja sampai sore. Professor saya selalu membalas cepat email saya, kecuali email yang saya kirimkan jumat sore selalu Ia balas senin pagi. Dengan kata lain, saat weekend beliau juga tidak menyentuh kerjaan.

Barangkali, inilah salah satu saripati “german way” : Fokus, efektif, efisien. Lantas saya coba introspeksi cara kerja saya.

Boleh jadi, saya melungkan waktu di depan komputer (kerja) lebih banyak dari kawan saya si Tukang mabuk itu, Tapi akhirnya saya sadari kalau efektifitas saya rendah. Saya memang belajar/riset, tapi saya masih menyelingi dengan membuka Facebook (seperti saat ini), mencari lagu di Youtube, baca berita dsb.

Hal ini berbeda dengan kawan saya yang memang betul-betul fokus, tidak menyelingi dengan apapun. Pada akhirnya saya simpulkan kalau waktu saya yang terbuang untuk intip Facebook, liat youtube dsb ternyata banyak, sangat-sangat banyak.

Saya sekarang mempertanyakan efektifitas kerja saya. Dan barangkali itu pula yang dialami student lain dari Indonesia (Indonesia termasuk peringkat atas untuk pengguna FB, Twitter dan Path, kita memang social media addict).

Maka pantaslah bagi si Tukang Mabuk itu untuk bisa Publish paper dalam dua bulan.

AlhamduLillah, Allah memberi saya pelajaran dan hikmah melalui kawan saya si Tukang Mabuk ini. Rupanya disiplin diri dalam arti meluangkan banyak waktu untuk kerja belumlah cukup, Disiplin diri harus dibarengi dengan efisien.

Setelah saya berhasil konsisten dengan program disiplin diri, selanjutnya harus berlatih bekerja dengan efektif dan efisien. Puasa Facebook, Puasa youtube, dan seterusnya

Bismillah… semoga dimudahkan.. semoga dikuatkan.

-Tallahassee, pukul 5 pagi-

Seorang Mediocre yang berusaha menggapai bintang.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *