Terus terang saya ngakak pertama kali melihat gambar diatas. Gambar ini berasal dari PhD comic. komik bikinan orang stanford yang bercerita tentang serba-serbi kehidupan PhD student nan penuh derita dan nestapa.

Kenapa saya ngakak? karena PhD comic biasanya mendeskripsikan secara akurat perasaan dan semua kegalauan PhD student. kebanyakan mahasiswa PhD datang dengan ambisi besar. Berawal dari ambisi Nobel Prize, kemudian setelah mulai merasa “pahitnya hidup”, ambisi itu turun menjadi “master” di bidangnya, lalu setelah merasa getirnya riset, turun lagi menjadi : dapat postdoc di tempat bagus, dan seterusnya menjadi asal cepat lulus hingga : “mudah2an seminar ini menyediakan makanan gratis yang oke”.

Barangkali termasuk saya, jikapun iya ini bukanlah yang pertama.

Waktu saya di ITB, saya mendengar selentingan pujian sekaligus kritikan terkait stereotype anak ITB. Konon katanya anak ITB itu percaya dirinya tinggi (pujian), tapi terkadang arogan (kritikan). Mungkin sebabnya karena sejak awal masuk kampus kami sudah didoktrin dengan spanduk:” Selamat datang putra-putri terbaik bangsa.” Begitu menjalani kuliah, terpapar lagi dengan slogan seperti: kita ini adalah agen perubahan, penjaga nilai dsb.

Barangkali hal-hal semacam itu yang membuat saya sesumbar ketika ada yang menanyakan motivasi saya mengikuti pencalonan Presiden Kabinet: “Saya ingin belajar memimpin 12 ribu mahasiswa sebelum saatnya nanti saya memimpin 250 juta rakyat Indonesia.”

Masa muda yang menggairahkan dan meletup2. Masa dimana saya dan mungkin sebagian besar pemuda seumuran saya punya ambisi gigantik. Tapi juga masa dimana saya tidak bisa membedakan antara Niat ikhlas berkontribusi, atau semata nafsu dan ambisi pribadi.

Menikah = Cooling down.

Pasca menikah, yang dulu membara perlahan mereda. Dan semua menjadi terlihat demikian sederhana. Saya tidak bisa mendeskripsikan sebab musababnya, namun mudah-mudahan saja ini yang dinamakan Sakinah alias ketenangan. AlhamduLillah ada satu rasa, sebut saja namanya “ketenangan”, yang membuat diri tak lagi dihinggapi ambisi membara (thanks to my beautiful angel).

Dulu saya berambisi menjadi orang “besar”: Presiden lah, Nobel Prize lah dan sebagainya. Kini saya paham bahwa itu semua fana hakikatnya.

Why?

Karena kita tidak pernah tahu amal sebelah mana yang dicintai Allah, Dan setiap diri kita punya jalan alias Thariqah nya masing2. Kita tidak pernah tahu, tapi Allah mengetahui.

Suatu saat Rasul mencium tangan kasar seorang tukang batu, beliau berkata : Tangan seperti ini lah yang tidak akan disentuh api neraka.

Bisa jadi mencari nafkah halal lebih dicintai Allah daripada menjadi seorang Presiden, karena jangan-jangan saya akan menjadi seperti Qarun ketika diberi amanah sebesar itu.

Dan bisa jadi mengajari seorang anak Huruf Alif,ba,ta dan tsa lebih dicintai Allah daripada menemukan satu hal besar dan memenangkan Nobel Prize, karena jangan-jangan nama besar justru mengundang kesombongan.

kIta tidak pernah tahu, tapi Allah maha mengetahui.

Saking takutnya menjadi terkenal atau punya nama besar, ada Waliyullah jaman dulu yang kerap menenteng botol khamr (diisi air), karena bagi dia lebih baik diprasangkai sebagai ahli maksiat daripada diprasangkai sebagai orang Sholeh.

Banyak cerita tentang Kemasyuran karomah Waliyullah yang menyebar setelah sang wali meninggal, karena mereka (seperti sering dilakukan Kyai Chalil Bangkalan) sering berpesan pada orang yang menyaksikan (karomah) supaya tidak bercerita kepada siapapun selama sang wali masih hidup.

Orang-orang sholeh jaman dulu justru menjauhi nama besar, menjauhi Kemasyuran, dan membenci kepopuleran.

Jadi.. optimalkan saja kondisi saat ini untuk berbuat baik dengan keikhlasan. Kita tidak pernah tahu dari sisi mana Allah akan memberi cinta, ridha dan ampunan-Nya. Sisanya biar Dia yang menentukan, toh Rasul juga melarang seorang Muslim untuk panjang angan-angan. Jadi do the best, right Now, right here.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *