Saya awali dengan Dirgahayu Republik Indonesia!

****

Sayangnya tidak ada resep instan untuk membangun sebuah negeri.

Sembilan tahun lalu saya membaca buku berjudul kebangkitan budaya. Ada satu hal yang melekat hingga kini, tertulis di bagian kata pengantar. Penulis buku menemukan bahwa pada tahun 1960, nyaris semua indikator ekonomi korea dan ghana sangat mirip. Namun kini korea selatan tumbuh menjadi negara maju sedangkan Ghana masih “gitu gitu aja”.

Dalam kurun 30 tahun, Korea yang mengawali dengan fokus pada industri baja, dilanjutkan dengan elektronik, lantas dibumbui dengan K-Pop berhasil melampaui banyak negara.

****

Sayangnya tidak ada resep universal untuk membangun sebuah negeri.

Ada hal menarik dari The Economist yang saya baca hari ini. Majalah ini menyoroti kemajuan Vietnam dan China, dan yang menarik adalah dua negara ini bertolak belakang perihal proteksi terhadap investasi asing.

The economist menaruh headline tentang Uber yang menyerah kalah di China. Regulasi china tidak memungkinkan Uber untuk survive dengan “uber” lokal versi China. Hal ini menambah panjang daftar perusahaan2 yang gagal menembus tembok besar regulasi China seperti Facebook, google dan Amazon. China memiliki FB, google dan Amazon lokal versi mereka sendiri.

Berkebalikan dengan China, Vietnam sangat open dengan investasi asing. Sejak tahun 1990, Vietnam menyederhanakan regulasi perdagangannya dan hasilnya luar biasa. Pelan tapi pasti Vietnam tumbuh menuju negara maju.

****

Sayangnya tidak ada resep tunggal dalam membangun sebuah negeri.

Saya pernah mengajukan hipotesis bahwa budaya dan jiwa olahraga masyarakat Amerika merupakan penyumbang besar pembentukan karakter seorang american yang confidence, visioner (goal oriented) dan kreatif.

Bahwasanya olahraga ternyata memiliki dampak signifikan baru saya sadari akhir2 ini. Demikian juga dengan musik, setahun bergaul dengan PhD candidate dalam bidang musik memberi saya “insight” bahwa musik dan seni juga memiliki dampak signifikan dalam pembangunan karakter bangsa.

Lantas bagaimana?

Karena tidak ada resep instan, universal serta tunggal maka upaya untuk mewujudkan cita cita kemerdekaan harus dilakukan oleh segenap bangsa, dari segala sisi.

Mulai dari mana? OPTIMISME !

100% orang India yang saya temui tidak ingin kembali ke India.
100% orang Iran yang saya temui tidak ingin kembali ke Iran.
Secara umum, hampir semua international student yang saya temui disini ingin stay dan berkarir di US.

Namun..

Nyaris 100% orang Indonesia yang saya temui, kecuali yang sudah menetap (menikah dengan orang Amerika) sering sekali homesick, dan berencana untuk pulang. Bahkan yang sudah sangat mapan dan memiliki dua restoran pun beberapa kali mengatakan ingin pulang ke Indonesia.

Pelajaran terbesar selama tiga tahun saya di US adalah saya sangat bersyukur dengan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan saya.

Percayalah kawan, Indonesia memiliki banyak sekali hal luar biasa yang baru kau rasakan ketika kau jauh darinya.

Di tulisan saya sebelumnya “Agar tak menjadi buih” saya berbicara tentang etos kerja, budaya apresiasi, dan kreatifitas.

Bagaimana etos kerja orang Indonesia? Etos kita bagus, meski mungkin masih kalah dibanding Jerman. Tapi lihatlah pasar2 tradisional yang aktifitasnya dimulai dari dini hari. Kita akan melihat betapa orang Indonesia sebenarnya punya jam kerja yang lumayan tinggi.

Bagaimana dengan kreatifitas? Dua hari ini saya berbincang dengan peneliti etnomusikologi dari US, beliau adalah penggemar berat gamelan. Dari beliau saya betul betul menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki kreatifitas tinggi yang tersalurkan dalam ragam seni, bahasa dan makanan.

Kini tinggal bagaimana kita mengelola agar kreatifitas tersebut tersalurkan dalam inovasi teknologi yang berimbas langsung pada pertumbuhan ekonomi.

Bagaimana dengan budaya apresiasi? Barangkali inilah yang belum kita miliki. Jadi mari kita jauhi caci maki, saling membenci dan mulai untuk belajar menghargai satu sama lain.

Saya jadi teringat ungkapan yang kami dengungkan sembilan tahun lalu di kampus ganesha :

Kami Cinta Indonesia 
Berpikir, Bergerak, Bersama-sama

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *