Pada tahun 1950an pemerintah Jepang berpikir keras untuk menemukan jalan tercepat guna membangkitkan ekonomi yang luluh lantak akibat kalah perang. Mereka perlu pertumbuhan yang radikal; yakni satu resep mujarab yang tak hanya memperbaiki ekonomi melainkan juga menegakan kembali kepercayaan dan harga diri bangsa.

Saat itu mayoritas orang Jepang tinggal di Tokyo dan Osaka. Meski hanya terpisah sejauh kurang dari 500 mil, namun topografi Jepang yang bergunung-gunung membuat perjalanan Tokyo-Osaka bisa mencapai 12 jam. Maka kepala urusan perkereta apian mengeluarkan satu maklumat untuk menciptakan kereta cepat.

Para ahli lantas mengeluarkan desain lokomotif yang mampu menarik gerbong dengan laju 65 mil/jam. Namun kepala urusan perkereta apian tak puas, dia ingin 120 mil/jam.

“Ini tidak mungkin”, kata tim ahli dan insinyur. Laju yang terlalu cepat akan membuat kereta terlempar keluar lintasan ketika berbelok (akibat gaya sentrifugal). Kereta Jepang saat itu perlu untuk banyak berbelok guna menghindari gunung. Membobol gunung sepanjang Tokyo-Osaka akan menghabiskan dana sangat besar, sejumlah yang diperlukan untuk membangun kembali seantero Tokyo.

Namun kepala perkereta apian tak bergeming, dia tetap ingin 120 mil/jam.

Tim desain lantas mengatakan kalau 75 mil/jam masih bisa dikompromikan, bahkan dengan laju ini pun Jepang sudah masuk jajaran negara yang memiliki kereta dengan laju tercepat saat itu. Prestasi luar biasa bagi negara yang baru kalah perang.

Kepala perkereta apian tetap ngotot, 75 mil/jam tidak cukup untuk merevolusi Jepang. Dia tetap memaksa di angka 120 mil/jam.

Pada akhirnya, semua tim dan insinyur terpaksa bekerja gila demi mencapai angka 120 mil/jam. Tak hanya lokomotif, semua aspek kereta api dan lintasannya perlu dihitung. Proses ini menghasilkan ratusan inovasi baik besar maupun kecil.

Akhirny, pada tahun 1964 rakyat Jepang dan pengamat Internasional menyaksikan “Tokaido Shinkansen” melaju dari Tokyo ke Osaka selama 3 jam dan 58 menit, dengan kecepatan rata-rata 120 mil/jam.

Sudah banyak penelitian terkait dampak lahirnya kereta cepat ini bagi Jepang. Gaung Shinkansen berhasil mengembalikan kepercayaan diri rakyat Jepang, menjadi titik nol industrialisasi Jepang dan tentu saja menjadikan Jepang negara maju.

*****

Jack Welch, mantan CEO General Electrik (GE) yang legendaris berkunjung ke Jepang pada tahun 1993 dan terinspirasi kisah Shinkansen ini. Sepulangnya dari Jepang dia disodori target kerja dari divisi mesin jet pesawat untuk mengurangi cacat/error sebesar 25%.

Berhubung Jack ingin menerapkan spirit Shinkanshen di GE, maka dia berkata dengan entengnya : “Saya ingin penurunan cacat sebesesar 70 % ! “

“Ini tidak mungkin!” sergah sang manager. Lantas Jack hanya bergumam singkat : “Anda punya waktu tiga tahun.”

Menurunkan cacat hingga 70 % mustahil tercapai meski dengan menrekrut tim QC (Quality Control) terbaik sekalipun. Gol ambisius ini tercapai hanya jika SELURUH pekerja juga berperan sebagai QC. Dengan kata lain seluruh pekerja harus waspada dengan kesalahan sekecil apapun.

Spirit Shinkansen ini kemudian menjadi pemacu perombakan besar-besaran di divisi mesin jet pesawat. Perubahan drastis terjadi Tak hanya disistem perekrutan melainkan juga strukrur organisasi dan budaya perusahaan.

Pada akhirnya divisi jet pesawat berhasil menurunkan cacat hingga 75 %.

******

Kita perlu Spirit Shinkansen.
Bangsa kita perlu Spirit Shinkansen.

Saya bahagia dengan beberapa titik cerah yang terlihat Beberapa waktu lalu : PT DI telah mengirimkan pesawat pesanan dari Senegal, Darmin Nasoetion membawa rombongan ke Iran dan melobi agar Pertamina bisa ikut mengelola dua lapangan disana, Investasi dari Saudi memungkinkan kita untuk membangun Kilang, Trans Papua menandai pembangunan infratruktur yang masif, Indonesia dilirik dan diincar untuk dibangun HyperLoop, Pertamina telah mengakuisisi saham dari perusahaan minyak terbesar kedua di Perancis, dan sebagainya..

Saya berharap hal2 tersebut merupakan tanda kebangkitan industri strategis Indonesia. Namun perubahan revolusioner memerlukan Spirit Shinkansen di semua lini dan seluruh aspek.

Kawan baik saya pernah berkata : “Cita-cita itu seharusnya kata kerja (predikat), bukan kata benda (objek).” Memang tidak salah ketika kita atau anak-anak kita memiliki cita-cita ingin menjadi Pilot, dokter, polisi dan sebagainya (cita-cita sebagai kata benda/objek).

Namun bangsa kita memerlukan beberapa persen anak muda yang memiliki cita-cita sebagai kata kerja yakni : Mencipta, membuat, mengubah dan sebagainya.

Karena bangsa kita memerlukan beberapa persen anak muda yang memiliki Spirit Shinkansen.

Jadi, apa Spirit Shinkansenmu kawan?

*****

Referensi : Smarter, Faster, Better (The secrets of being productive in Life and Business) by Charles Duhigg

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *