De-Industrialisasi Prematur & Revolusi Industri

Akhir pekan lalu saya berselancar ke dokumen2 “Indonesia economic quarterly report” yang diterbitkan secara berkala oleh bank dunia. Secara umum nuansa nya positif, namun ada beberapa catatan menarik.

Pertama, dalam tiga tahun terakhir kita kehilangan 1 juta lapangan kerja di sektor pertanian, perikanan, kehutanan namun ada 1,1 lapangan kerja baru tercipta di sektor pedagangan, retail, restoran dan hotel. Biasanya hal ini dinilai positif karena sektor2 ini (jasa dan perdagangan) dianggap memiliki produktifitas lebih besar dibanding sektor pertanian, perikanan dan kehutanan.

Kedua, kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto mengalami penurunan tajam sejak tahun 2005. Gejala yang disebut deindustrialisasi ini sebenarnya dianggap lazim jika terjadi pada negara yang pendapatan per kapitanya jauh lebih tinggi. Selama ini banyak yang beranggapan jika ekonomi suatu negara tumbuh bertahap. Awalnya bertumpu pada sektor agraris dan ekstraktif, lalu beralih ke manufaktur dan berlanjut pada sektor jasa sebagai tumpuan utama ketika PDB perKapita sudah tinggi. Namun, ekonomi kita mengalami perubahan struktural yang “tak lazim”. Kita tidak pernah kokoh dalam sektor manufaktur. Meski PDB perKapita kita terus naik namun belum sampai pada angka yang dianggap lazim untuk beralih ke sektor jasa.

Indonesia mengalamai deindustrialisasi yang prematur. Apakah ini hal baik atau buruk?

Saya tidak ingin berkomentar lebih jauh terkait fenomena deindustrialisasi prematur ini. Anggaplah kita telah kalah dalam sektor manufaktur. Namun kita harus belajar dari kesalahan masa lalu agar bisa menghadapi revolusi Industri yang sudah ada di depan mata.

*****

James watt tidak sekedar menciptakan mesin uap. Yang ia ciptakan membuahkan revolusi industri pertama yang mengubah drastis tatanan ekonomi, sosial dan budaya hingga kita mengenal istilah borjuis dan proletar, hingga berbuntut pada kolonialisme dan imperealisme.

Revolusi industri kedua trigger nya adalah jaringan listrik, sedangkan revolusi industri ketiga dimotori oleh komputer dan teknologi informasi.

Semua revolusi industri tersebut berawal dari teknologi, dan berakhir pada perubahan tatanan ekonomi, sosial dan budaya secara global. Secara agregat semua revolusi industri menambah kemakmuran dunia, namun disisi lain ketimpangan tak terelakan. Selalu ada yang menang dan kalah.

Kini kita berada di era revolusi industri keempat. Apakah kita akan keluar sebagai pemenang atau kembali menjadi bangsa yang kalah?

*****

Revolusi 4.0 sejatinya sudah hadir meski terasa senyap. Para pakar masih meraba konsep dan konsekuensinya. Namun setidaknya ada sekitar 20 teknologi baru yang menjadi pembuka revolusi industri keempat ini.

Pertama adalah Internet of Things (IOT), teknologi yang memungkinkan piranti saling terkoneksi, bertukar data dan mengambil keputusan secara otomatis. Smart home adalah salah satu contoh nyatanya. Teknologi lainnya berkisar mulai dari Big data, data science, 3D printing, artificial inteligence, quantum computer dan sebagainya.

Salah satu konsekuensi nyatanya adalah otomatisasi yang berimbas langsung pada hilangnya lapangan kerja secara massif, digantikan oleh mesin atau robot. Pertama kali saya datang ke US lima tahun lalu bioskop masih menyediakan pegawai yang menjual tiket, sekarang sudah tidak ada. Satu mesin tiket dan app telah menggusur 3 lapangan kerja per bioskop. Setelah beberapa waktu lalu ada isu otomatisasi tol yang mengancam pekerjaan banyak orang, tak lama lagi isi bensin tak perlu petugas.

Jokowi juga pernah dikritik terkait proyek infrastruktur yang tidak menyerap tenaga kerja sebanyak yang diharapkan. Seratus tahun lalu NewYork membangun terowongan MRT dengan mengerahkan ribuan kerja. Sekarang ada Tunnel Boring Machine, mesin bor raksasa dari Jerman yang tak hanya menggali kedepan melainkan juga otomatis memasang segmen terowongan. Pekerjaan sekian ratus orang digantikan satu mesin dan beberapa operator. Beberapa hari lalu saya melihat satu alat berat (di kampung saya disebut slender) yang dikendalikan dengan remote control. Sebentar lagi akan muncul slender yang bergerak otomatis mengikuti sensor aspal.

Apakah otomatisasi ini hanya mengganti pekerjaan kelas bawah? Jawabanya adalah tidak. Sudah tiga tahun ini saya intens mengikuti perkembangan Machine Learning, dan berita-berita mengejutkan terus bermunculan. Setelah kemunculan mesin yang bisa mengalahkan juara “GO”, muncul algoritma yang bisa mengganti peran akuntan. Bahkan sudah ada Machine learning yang terbukti bisa mendiagnosis penyakit lebih akurat dibanding dokter. Menakutkan bukan?

*****

Orang-orang silicon valley sudah memprediksi akan “economy shock” yang akan terjadi. Mereka mengusulkan adanya Universal basic income untuk mengantisipasi ribuan lapangan kerja yang akan hilang digantikan oleh robot. Bahkan ada pula yang mengusulkan adanya “pajak robot”.

Apakah kita siap mengantisipasinya?

3D printing diprediksi merevolusi lanskap manufaktur, sistem produksi, shipping dan logistik. Saat ini 3D printing belum menjadi mainstream, hanya berkontribusi 0.04% terhadap manufaktur global. Namun pertumbuhannya sangat cepat. Setengah juta 3D printer dikapalkan tahun 2016 dan tahun 2020 diprediksi jumahnya akan melonjak menjadi 6.7 juta. Wohlers memprediksi pertumbuhan industri ini diatas 25% per tahun. Setengah pelaku sektor manufaktur di Amerika memprediksi 3D printer bisa digunakan untuk produksi massal dalam 5 tahun mendatang.

Piranti IOT berjumlah 15.4 Milyar (device) pada tahun 2015 dan diprediksi akan meningkat menjadi 75.4 Milyar device pada tahun 2025, nilai ekonomi yang luar biasa.

*****

Kita mengalami deIndustrialisasi prematur tanpa pernah mencicip manisnya menjadi negara Industri. Namun kini saatnya kita menatap kedepan. Lantas apa saja yang harus kita (sebagai bangsa) lakukan agar keluar sebagai pemenang di era revolusi industri keempat ini?

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *