Saya selalu yakin jika saya ini beruntung. Satu hal yang saya selalu pegang teguh adalah prasangka baik kepada Allah, karena Allah menuruti prasangka hamba-Nya. Apapun kejadian yang saya alami, saya senantiasa berusaha menanamkan bahwa ada hikmah dan kebaikan didalamnya.

****

Kata Professor saya, Menjadi Professor (faculty) bukan semata perkara akademik. Seringkali timing dan keberuntungan juga menentukan.

Awal saya di FSU, saya mendengar bahwa hanya 15% PhD yang mendapat posisi tetap di Research University atau National Lab. Waktu itu saya berpikir jika angka 15% tak begitu menakutkan. Saya kira, bersaing menjadi top 15% bukan perkara yang susah.

Realitanya ternyata lebih mengerikan. Waktu group saya akan merekrut satu faculty baru, iklan yang dipasang sangat spesifik: ” Berafiliasi dengan JLab, Hall D/GlueX detector, dan bidangnya spectroscopy. Dengan iklan yang spesifik seperti ini pun masih bisa menarik 12 pelamar. Jadi, peluangnya adalah 1:12 alias sekitar 8%.

Tapi itu masih mending. Waktu group High energy theory mau ngrekrut faculty baru, yang melamar sekitar 100 orang. Waktu itu mereka masih belum decide apakah mau ambil satu atau dua faculty baru. Jadi peluangnya berkisar 1% atau 2%.

Dan di bidang lain yang komunitasnya lebih besar seperti condensed matter atau material science, pelamar untuk satu posisi faculty bisa mencapai 200 orang. Peluang yang bahkan kurang dari 1%.

Namun disisi lain, sepupu room mate saya dulu mendapat posisi faculty hanya dua tahun setelah lulus (postdoc). Dia orang LIGO, satu diantara sekian grad student yang beruntung menyaksikan signal pertama gelombang gravitasi.

Apalagi setelah temuan ini diganjar Nobel Prize, kampus2 di US pun banyak yang nggak mau ketinggalan tren. FSU sebelumnya nggak ikut terlibat di LIGO, namun karena nggak mau ketinggalan tren, group astrophysics nya pun merekrut faculty baru yang berafiliasi dengan LIGO. Dan tiba-tiba demand orang LIGO menjadi sangat besar sampai2 PhD2 yang masih baru pada lulus pun banyak yang mendapat posisi faculty.

****

Akhirnya saya paham kata Professor saya bahwa posisi faculty bukan semata perkara akademik. Seringkali timing, faktor2 lain diluar akademik serta keberuntungan menjadi penentu.

Bahkan professor saya yang sudah beberapa kali menjadi hiring committe juga pernah mengatakan jika keputusan tentang siapa yang mau direkrut sering dibuat pada saat makan siang bersama.

Kata Prof. saya, semua yang dipanggil interview sebenarnya sudah dianggap capable dari sisi akademik. Terkait proses selanjutnya, jika di Jerman istilahnya adalah : “Do they like your nose?” Maka tak heran jika keputusan diambil justru saat makan siang bersama.

Saya pernah melihat dua dissertasi (juga paper) dari dua orang yang berasal dari grup yang sama dan lulus pun hampir bersamaan. Kualitas dissertasi dan paper dari dua orang itu pun menurut saya sama bagusnya. Namun jika yang satu kini sudah menjadi Assistan Professor di MIT, yang satunya lagi masih berganti2 postdoc.

Prof. saya kenal keduanya. Rupanya attitude mereka berdua bertolak belakang. Yang sekarang sudah menjadi assistant prof. di MIT orangnya nice dan sangat helpfull. Sementara satunya lagi (yang belum dapat permanent position) sangat kasar.

Jadi attitude pun juga menentukan. Belum jika kita bicara tentang office politic dan sebagainya.

****

Saya berangkat ke US saat US baru recover dari mortgage crisis. Saya pun mendapat wejangan jika masa depan Nuclear physics suram.

Qadarullah, waktu itu saya memutuskan untuk stay di nuclear physics.

Ternyata, setelah US menyerah kalah dengan eropa (CERN) terkait High energy physics, akhirnya US melalui DOE memfokuskan pada nuclear physics, neutrino (dan sekarang LIGO).

US membangun FRIB (Facility of Rare Isotope Beam) di Michigan, JLAB di upgrade menjadi 12 GeV dan dibangun satu Hall lagi. Dan kongres sudah memutuskan untuk membangun EIC (Electron-Ion collider) yang sedang dipebutkan antara JLab dengan Brokhaven. Berbagai experiment di Fermilab pun mendapat support dari DOE, termasuk experiment yang jadi kerjaan utama saya.

Alhamdulillah, saya lulus di waktu yang tepat. Saat bidang saya sedang menggeliat.

****

UVA adalah lamaran pertama saya. Jadi begitu Prof. saya memberi lampu hijau untuk apply postdoc, tembakan pertama saya Alhamdulillah langsung kena.

Dan saya beruntung untuk join di group yang fundingnya nyaris 200 M, padahal isinya cuma 3 faculty, 2 postdoc dan sekitar 5 grad student. Kerjaan utama group ini salah satunya adalah mendeliver polarized target yang menjadi pilar dari SeaQuest experiment di Fermilab.

Barangkali saya masuk PhD dan lulus dengan timing yang tepat. Tahun ini satu faculty di group saya pensiun dan tahun depan satu lagi menyusul pensiun. Menyisakan satu faculty dengan funding melimpah dan komitmen untuk mendeliver berbagai polarized target untuk experiment di Fermilab dan JLab.

Oleh karena itu, saya melihat peluang untuk mendapat permanent position di UVA jika performa saya memuaskan selama postdoc.

Alhamdulillah, Charlottesville juga memiliki komunitas muslim yang banyak dan hidup. Ada 200an anak yang ngaji di mesjid (TPA). Bahkan di grocery store umum di dekat apartment saya punya Halal meat. Saya juga baru tahu dua hari lalu kalau ada Bus yang menjemput ke kampus tiap shalat Jumat.

****

Saya selalu menganggap saya ini beruntung. Karena Insya Allah saya selalu berprasangka baik pada Allah. Dan tidak ada apapun yang saya alami melainkan ada kebaikan yang diberikan Allah.

Atau barangkali ini adalah berkah doa orang tua saya, atau mbah-mbah saya atau barangkali leluhur saya. Maka guru saya pun berpesan agar saya menjaga shalat malam, karena barokah shalat malam bisa turun ke anak cucu.

Bismillah..

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *