Metropolis Museum of Art (MET) adalah museum pertama yang saya kunjungi di NYC. Ini adalah museum seni terbesar di USA dan museum dengan pengunjung terbanyak kedua sedunia (setelah musse de louvre di Paris). Tak heran antrian begitu mengular, apalagi di musim libur seperti sekarang

(Foto 1)

Bagi saya seni adalah piranti untuk membaca jaman, karena seni merekam denyut sejarah, bahkan sesekali mampu mengubah arah sejarah. Menelusuri MET rasanya seperti mereka ulang ribuan tahun peradaban manusia melalui artefak yang terbentang sejak jaman mesir kuno hingga jaman modern.

(Foto 2)

Namun saya tidak terlalu tertarik dengan artefak seni jaman kuno. Saat itu seni cenderung elitis, hanya dinikmati segelintir elit penguasa. Misalnya pelbagai artefak cantik mesir kuno diciptakan sebagai “kawan perjalanan” sang firaun menuju alam baka. Pun demikian pada masa peperangan antar kerajaan di seputaran timur tengah dan eropa beberapa abad kemudian. Artefak seni sering dihadirkan sebagai tanda perdamaian, hadiah, upeti atau aktifitas2 politik lainnya dikalangan elit.

Saya lebih tertarik (Salah satunya) dengan seni jaman kolonialisasi dan revolusi Amerika, dimana seni tak hanya merekam denyut sejarah melainkan juga alat propaganda. Pasca Columbus menjejakan kaki di Amerika, Seni merekam (sekaligus menawarkan) harapan, mimpi, dan optimisme orang2 Eropa akan masa depan gemilang di tanah yang baru mereka temukan (Amerika). Lukisan2 saat itu banyak bertemakan keindahan Amerika, seakan sebagai iming2 agar orang mau datang kesana.

(Foto 3)

Ketika terjadi Revolusi Amerika, yakni perang kemerdekaan antara Amerika-Inggris, Seni menjadi corong propaganda Nasionalisme dan pemersatu bangsa

(Foto 4)

Setelah Revolusi berakhir dan lahirlah Bangsa Amerika yang merdeka dari Inggris, perang saudara datang tak terelakan. Perang ini terjadi karena keengganan fraksi selatan untuk menghapus perbudakan

(Foto 5)

Pasca perang sipil berakhir dan suasana luluh lantak, seniman kembali menawarkan harapan dan optimisme dengan membuat karya-karya bertemakan anak-anak dan kegembirakan. Mereka ingin mengatakan bahwa masa depan ada di tangan anak-anak Amerika, seperti pada lukisan berjudul “hope” ini

(Foto 6)

Namun terjadilah apa yang ditakutkan Paulo Freire dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas” yakni kaum tertindas yang berubah menjadi penindas baru. Saat itu lahir “Doctrine of Manifest Destiny” yang intinya adalah Bangsa Amerika merupakan bangsa terpilih yang ditakdirkan Tuhan untuk berkembang demi menebarkan demokrasi dan kapitalisme di bagian utara Amerika. Sejarah pun berulang, lukisan2 dengan tema keindahan Amerika bagian utara pun semerbak, menjanjikan optimisme.

(Foto 7)

Efek dari Doctrine of Manifest Destiny adalah perang besar antara Amerika vs Meksiko dimana Amerika berhasil merebut wilayah yang kini menjadi : California, Arizona, Colorado, New Mexico, Utah, Nevada dan Wyoming.

Dan setelah Amerika berhasil mencaplok wilayah2 diatas dari Meksiko, dengan santainya Amerika menyerukan perdamaian. Lahirlah karya2 seni bertemakan perdamaian, seperti patung berjudul “peace” ini

(Foto 😎

*****

Seni mampu merekam jejak sejarah, juga menentukan arah sejarah. Oleh karena itu, strategi pembangunan tak boleh lepas dari pembangunan kebudayaan. Hal ini juga sangat disadari oleh Soekarno, itulah alasan kenapa Soekarno pernah menunjuk seorang seniman (Heng ngantung) menjadi Gubernur Jakarta.

Seandainya saya menjadi walikota maka yang pertama kali saya bangun adalah taman (ruang publik) , teater, museum, perpustakaan dan hall of science. Lalu saya akan mengirim beberapa pemuda ke Amerika untuk belajar propaganda ala Amerika.

(Foto 9)

Central Park at Manhattan

New York, 27 Desember 2017

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *