Berawal dari kabar mengenai Sapardi Djoko Darmono yang tengah terbaring sakit (semoga beliau diberi kesembuhan), saya teringat satu bait yang sangat terkenal milik Sapardi :

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”

Saya tersentak ketika pertama mendengar bait puisi “aku ingin” diatas oleh Sapardi Djoko Darmono, sekian tahun silam. Dan sejak saat itu saya mengidolakan Sapardi. Jika puisi rendra “membakar” maka bait2 sapardi “meneduhkan”. Satu kombinasi yang apik bagi aktivis-aktivis muda yang siangnya berjibaku dengan kata2 perjuangan namun malamnya saling berkeluh kesah tentang skripsi yang tak kunjung tuntas, kuliah yang harus diulang atau percintaan yang kandas.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Kata orang patah hati adalah inspirasi besar karya sastra. Terlepas dari benar atau tidaknya statement ini, setidaknya bagi saya pengalaman patah hati lah yang mengenalkan saya pada dunia sastra. Cinta yang tak tersampaikan saat SMP dulu membawa saya ke dunia sastra minang. Nyaris semua novel minang populer seperti sengsara membawa nikmat, salah pilih, salah asuhan, atheis dsb habis saya lahap. Saya jatuh hati pada indahnya tutur melayu para sastrawan minang.

Saat itu saya juga mengagumi trilogi Ronggeng dukuh paruk nya Ahmad Tohari. Ahmad tohari melukis dengan apik suasana desa yang syahdu, disamping kemuraman situasi sosial politik kala itu lewat tokoh si Srintil. SMP memang masa awal saya berkenalan dengan dunia sastra, juga masa awal saya mulai memahami identitas ke”Jawa” an saya. Selain hapal alur cerita 18 Parwa Mahabharata, saya juga tekun mengikuti majalah “panjebar semangat”; majalah berbahasa jawa yang didirikan sejak tahun 1933 oleh soetomo (pendiri budi utomo).

Memasuki SMA, saya bergelat dengan bentuk sastra yang lain : Fisika. Bagi saya Fisika dan Sastra hanyalah dua sisi berbeda dari satu koin yang sama.

Fisikawan pada dasarnya adalah seorang seniman atau sastrawan. Fisikawan memandang alam semesta dengan pemaknaan penuh atas keindahan dan harmoni yang sempurna. Jika Seorang pelukis mengungkap keindahan semesta dengan kanvas dan tinta, maka fisikawan menghayati keindahan semesta lantas mengungkapkanya diatas persamaan matematika.

Alkisah ketika pertama kali muncul persamaan Maxwell, ada yang berkomentar :”Apakah seorang Dewa yang menuliskannya?” komentar ini adalah spontanitas seorang fisikawan selepas melihat persamaan Maxwell yang simetri, rapi dan tersusun indah serta komprehensif. Sebagai tambahan, seorang fisikawan biasanya adalah seorang yang Romantis; seseorang yang mampu mengungkap keindahan dan harmoni yang terselubung melalui bahasa matematika tentunya juga mampu mengungkapkanya lewat untaian kata.

Sahabat Umar Bin Khatab pernah memberi Nasihat :

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu

Agar mereka berani melawan ketidak adilan.

Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu

agar mereka berani menegakan kebenaran.

Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu

agar jiwa-jiwa mereka hidup.

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu.

Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani.

(Umar bin Khattab)

Dan sekali lagi, Sastra dan Fisika pada dasarnya serupa.

Fisikawan adalah seorang yang humanis. Seseorang yang bisa menghargai semesta yang mati tentunya mampu menghargai yang hidup. Humanisme ini tercermin dalam keseharian beberapa tokoh fisika. Einstein menangis bersama beberapa fisikawan lain saat Jepang di Bom. Kemudian mereka berseloroh :”Manusia tidak pernah tahu apa yang dilakukannya!” Abdus Salam menyumbangkan hadiah nobelnya guna membangun ICTP yang spiritnya adalah menjembatani kesenjangan antara barat dan timur. Demikian pula dengan Chen nin yang, Yukawa, Plank dan sebagainya.

Fisikawan adalah seorang yang keras kepala, tak pernah menyerah dalam menggapai impian. Kepler menunggu hingga 20 tahun untuk sampai pada perumusan ketiga hukumnya. Masatoshi Kosiba bukan seorang yang cemerlang, dia harus berjuang keras sampai akhirnya ia mendapat nobel atas penemuan Neutrino. Currie harus menempuh sekian kilometer ketika harus “nyambi” ngajar demi mensupport pendidikan dia, mengolah berton bahan dengan tungku panas untuk sekedar mendapat beberapa gram radioaktif.

Fisikawan adalah pahlawan pembela kebenaran. Galileo harus menerima tahanan rumah karna mempertahankan keyakinannya akan heliosentris. Seringkali seorang fisikawan juga memiliki karakter yang kuat dan pribadi yang unik. Dirac sang jenius pertapa, Feynman yang eksentrik atau Schrodinger sang jenius pecinta. Juga Bohr yang disegani karena kesahajaan dan kepemimpinannya.

Saya teringat bait cantik lain milik Sapardi :

Sajak kecil tentang cinta

mencintai angin harus menjadi siul

mencintai air harus menjadi ricik

mencintai gunung harus menjadi terjal

mencintai api harus menjadi jilat

mencintai cakrawala harus menebas jarak

mencintaiMu harus menjelma aku

Larik terakhir sangat menyentak : Mencintai-Mu, harus menjelma aku. Mengingatkan saya akan “Barang siapa mengenal dirinya niscaya akan mengenal Tuhan nya”.

Karena Fisikawan pada dasarnya juga seorang Filsuf. Dibalik formula matematika yang njelimet serta kompleksitas alat eksperimen, tersembunyi Hasrat manusia merdeka yang meyakini Bahwa alam semesta digerakan oleh hukum yang sederhana, berjalan dengan simetri yang luar biasa, serta harmoni yang membentuk keindahan dan keagungan.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *