(Catatan Perjalanan Bdg-Jkt-BSD Part 3/10)

Barangkali saya yang terlampau optimis, tapi saya memang meyakini bahwa Indonesia is on the track menuju Indonesia emas 2045. Tentu dengan sejumlah catatan disana sini yang masih harus diperbaiki. Optimisme ini lahir dari apa yang saya lihat di sekeliling saya.

Pertama, saya punya dua adik yang berjarak 7 tahun dan 14 tahun. Teman-teman sepermainan saya di kampung dulu mayoritas tidak kuliah selepas lulus SMA/SMK. Berselang 7 tahun kemudian, mulai banyak teman sebaya adik pertama yang kuliah. Dan 7 tahun berikutnya teman2 sebaya adik kedua saya banyak yang kuliah di Universitas top di Indonesia. Kini kampung saya punya alumni ITB, UGM, IPB, Unair dan Undip. Ada juga yang dapat internship di Jepang ketika masih kuliah di Unsoed. Bahkan obrolan saya dengan pemuda setempat berkisar tentang digital start up.

Kedua, banyak sekali paperwork yang harus saya urus selama kepulangan terakhir ke Indonesia. Saya harus ke Imigrasi untuk mengurus passport, disdukcapil untuk KK dan akte anak, bea cukai untuk persoalan Imei, kantor kelurahan, kecamatan untuk KTP, aktivasi BPJS, dikti (online) untuk penyetaraan ijazah dan sebagainya. Dan overall saya mendapat pengalaman yang sangat2 positif, jauh sekali dari kesan yang saya dapat dari media.

Saya mendapati para birokrat yang betul2 melayani publik dengan baik. Salah satu contohnya adalah Purwokerto kini punya mall pelayanan publik sehingga saya tak perlu lagi ke Cilacap untuk membuat passport. Antriannya jelas dan rapi, datang kesana disediakan snack dan minuman, bahkan disediakan juga beberapa kemeja bagus buat foto passport.

Berbeda sekali dengan situasi tahun 2007 ketika saya membuat passport pertama kali. Saat itu saya datang menggendong tas, turun dari motor dan berjalan dengan percaya diri hingga dikomentari: “Wah, bawa banyak Nih Mas.” Rupanya saya dikira calo passport.

Dan sekarang setiap orang tak lagi takut ke rumah sakit setelah adanya BPJS.

****

Saya pulang ke Indonesia for good dan bergabung dengan BRIN. Salah satu alasan kenapa saya memutuskan untuk join BRIN adalah iklim riset yang saya nilai kondusif. Saya masukan nama kawan2 saya yang bekerja di BRIN di google scholar untuk mengecek publikasinya dan saya senang melihat rentetan publikasi mereka, bahkan ada yang dalam setahun memiliki belasan publikasi.

Terlepas dari BRIN yang sedang dalam fase transformasi serta mendapat sorotan tak mengenakan dari media, toh realitanya kawan2 saya produktifitas riset nya tetap tinggi. Publikasi mereka lintas institusi, menunjukan iklim kolaborasi yang oke. Kawan2 saya juga disupport oleh student hingga postdoc. Network dengan institusi luar negeri juga terpelihara dengan apik.

Tingginya produktifitas riset juga saya lihat pada kawan2 baik saya yang menjadi dosen di Universitas. Desember kemarin, kawan2 saya memposting paper2 yang dipublish selama tahun 2022 sebagai celebration of achievement. Kini tak lagi aneh seseorang bisa publish diatas 5 paper per tahun.

Intinya saya melihat iklim riset di Indonesia mulai kondusif, setidaknya saya lihat dari kawan2 baik saya yang bekerja di BRIN maupun di kampus. Yang perlu kita pupuk adalah budaya apresiasi dan iklim saling support.

****

Indonesia sudah memiliki rencana induk riset nasional. Dokumen ini berisi rencana, program strategis serta milestone hingga 2045. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa benchmark kita adalah Korea Selatan.

Korea memang biasa dijadikan acuan terkait pembangunan ekonomi dan teknologi. Pada tahun 1960an, pasca perang saudara kondisi Korea Selatan sangat porak poranda. Nyaris semua indikator ekonomi memposisikan Korea Selatan selevel Ghana atau negara miskin lainnya. Hebatnya dalam tiga dekade Korea mampu mencapai keunggulan selevel dengan pencapaian negara2 barat dalam kurun satu abad.

Industri semikonduktor di Korea bermula dari perusahaan Amerika yang mendirikan pabrik di Korea karena tertarik dengan upah buruh yang murah. Meski tidak ada transfer teknologi yang nyata, setidaknya Korea memiliki buruh2 terampil dalam industri semikonduktor. Kemudian pada tahun 1974 South Korea Semiconductor didirikan sebagai Joint Venture antara Grup Samsung dan “geng” diaspora Korea yang bermukim di Amerika.

Peran diaspora memang vital. Untuk menampung para diaspora Indonesia, Pak Handoko (kepala BRIN) mengatakan bahwa setiap tahunnya akan dibuka 500 lowongan peneliti di BRIN. Harapannya adalah mereka mendapat tempat berkarya di Indonesia sembari membawa network internasional yang telah mereka bangun selama studi atau bekerja.

Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak langkah kecil (baby step) yang sedang dibangun.

***
Insya Allah Indonesia is on the track menuju Indonesia emas 2045.
Foto kiri: Bersama teman2 BRIN
Foto tengah: Bersama teman2 Dosen ITB
Foto Kanan: ruang tunggu lantai 24 gedung BJ Habibie, sebelum bertemu Pak Handoko (Kepala BRIN) di ruang beliau

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *