Membangun SDM Industri Indonesia

(Catatan Perjalanan Bdg-Jkt-BSD Part 5/10)

Dalam berbagai kesempatan Pak Jokowi menekankan bahwa kita akan terjebak dalam middle income trap jika tak mamu melakukan industrialisasi dan hilirisasi. Middle income trap adalah situasi suatu negara yang pendapatannya stagnan di level negara berpendapatan menengah.

Untuk naik kelas dari negara miskin ke negara berpendapatan menengah relatif mudah. Resepnya adalah menarik investasi asing untuk membangun pabrik dengan menawarkan upah buruh yang murah dan stabilitas. Cara lain adalah jualan sumber daya alam. Namun proses untuk naik kelas dari negara berpendapatan menengah ke negara berpendapatan tinggi sangatlah susah karena memerlukan transformasi fundamental ekonomi untuk menjadi negara industri.

Selama 10 tahun terakhir pemerintah fokus pada pembangunan infrastruktur. Tentu saja hal ini patut diapresiasi. Namun infrastruktur hanyalah salah satu dari sekian pra-syarat yang harus dipenuhi untuk lepas landas menjadi negara Industri. Kali ini saya ingin menyoroti dari aspek SDM industri.

Selama 10 tahun di Amerika saya belajar dan bekerja sebagai “experimental particle physicist”. Eksperimen saya memerlukan detektor raksasa yang dibangun dengan menggabungkan berbagai keahlian, dari mechanical engineering, electrical enginering, computer science dan sebagainya.

Ketika saya terjun disatu aspek yang spesifik, kadang tercetus “gini doang ternyata”. Maksudnya adalah skill yang diperlukan sebenarnya sangat umum dan standard. Contohnya, saya pernah mendapat tugas untuk mengestimasi batas maksimum intensitas berkas proton sebelum membuat magnet superconductor quench. Kedengarannya memang keren, tapi yang saya lakukan sebenarnya adalah simulasi transfer panas dengan menggunakan COMSOL. Kata kuncinya adalah termodinamika dan finite element. Skill ini adalah skill umum yang mahasiswa teknik mesin juga sanggup mengerjakannya.

Contoh lainnya, untuk mengembalikan free-radical electron pada polarized target secara berkala solid NH3 harus dipanaskan (annealing) pada suhu~100 Kelvin. Kedengarannya memang keren, tapi yang saya lakukan adalah sekedar membuat pengontrol suhu secara otomatis. Sensornya T-Type Thermocouple, PID nya standard. Ini adalah project yang mahasiswa teknik elektro atau fisika instrumentasi juga bisa mengerjakannya.

Yang keren, unik dan challenging dari experiment saya adalah bagaimana menyatukan dan meng-orkestrasi berbagai keahlian yang spesifik hingga jadi satu detektor raksasa. Dan hal inilah yang juga diperlukan untuk membangun industri Indonesia.

Kawan saya yang bisnisnya dalam bidang traffic counting bercerita bahwa salah satu pemprov yang ingin mengaplikasikan smart city mengimpor ITS (Intelligence Traffic Management System) untuk mengatur lampu lalu lintas. Jika umumnya lama nyala lampu hijau/merah/kuning di set secara tetap, ITS memungkinkan lama nyala lampu menjadi fleksibel dan berubah otomatis berdasarkan kondisi traffic yang dipantau oleh sensor.

Yang membuat saya terkejut adalah harganya yang mencapai sekian Milyar per tiang (lupa angkanya tapi besar). Dalam hati saya nyeletuk: “Cmon, this is not rocket science, ini cuma lampu lalu lintas masa nggak ada perusahaan lokal yang bisa bikin sistem ITS?”

Mungkin saya terlalu menyederhanakan masalah. Namun jika dibedah, ITS terdiri dari berbagai sub-system teknologi yang umum. Optimasi lama nyala lampu bisa dengan metode meta-heuristik atau machine learning. Komunikasi dengan hardware dengan edge computing. Topik2 tersebut adalah topik umum yang dibahas diberbagai kampus di Indonesia.

Yang menantang dan tricky adalah menyatukan dan meng-orkestrasi berbagai sub-system menjadi produk.

****
SDM yang memiliki kapasitas sebagai seorang generalis serta memiliki leadership untuk meng-orkestrasi berbagai keahlian spesifik adalah SDM yang diperlukan untuk membangun industri Indonesia.

Barangkali yang diperlukan adalah kurikulum teknologi terpadu. Dan saya senang dengan trend kampus2 di Indonesia yang mulai membuka jurusan secara “tematik”. Contohnya adalah jurusan renewable energy engineering. Semoga strategi ini bisa menghasilkan kurikulum teknologi terpadu untuk menciptakan generalis technocrat yang punya leadership tinggi.

Kita punya beberapa nama yang pantas untuk dibanggakan. D’Tech engineering yang berbasis di Salatiga adalah perusahaan teknologi yang memberdayakan anak-anak SMK. Ada e-fishery yang awalnya fokus pada optimalisasi pakan ikan. Ada pula CeriTech yang menggunakan teknologi IoT untuk memastikan kualitas produksi kopi.

****

Beberapa hari lalu saya berkesempatan untuk silaturahmi dengan Pak Agus Purwanto . Melalui bendera PT Cipta Mikro Material yang berlokasi di gedung TBIC, BRIN beliau mengembangkan industri karakterisasi material hingga berkembang ke industrial-consultant provider. Service yang beliau berikan adalah jempatan antara dunia penelitian dengan dunia Industri.

Karena saya tidak sempat berfoto bersama dengan beliau, saya posting salah satu alat dari web perusahaan.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *