Islam Sebagai Motor Penggerak

Ada artikel menarik di jakarta post berjudul “With its diaspora, Indonesia can be next scientific powerhouse”. Artikel ini ditulis oleh diaspora Indonesia yang saat ini menjadi professor di UK. Inti gagasan artikel ini telah terangkum di judulnya. Diaspora Indonesia menyimpan potensi besar yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa, seperti halnya diaspora China.

Saya setuju sepenuhnya dengan gagasan penulis. Sayangnya banyak komentar bernada skeptis dan pesimis. Salah satunya dari Wolfgang Nellen, pakar genetika dari Jerman yang telah 10 tahun menjalin kerjasama riset dengan Indonesia (sepertinya) melalui program DAAD. Wolfgang nellen menjelaskan alasan kepesimisan dia dengan sangat gamblang di kolom komentar.

****

Cerita kepesimisan semacam ini tidak mengejutkan. Kita pernah berdiskusi tentang problem ekonomi umat Islam dan berkali-kali kita menyebutkan bahwa umat Islam memiliki potensi zakat ratusan trilyun yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kemajuan umat.

Di waktu lain kita pernah berdiskusi masalah terbatasnya akses pendidikan dan kita pernah menyebutkan bahwa ada ribuan masjid tersebar hingga pelosok negeri yang seharusnya bisa dimanfaatkan (misalnya) untuk ruang kelas.

Di lain waktu kita pernah berbincang tentang potensi jamaah haji dan umroh Indonesia yang jumlahnya demikian banyak.

Kita semua sepakat bahwa kita memiliki semua potensi yang dibutuhkan sebuah bangsa untuk menjadi besar: Bonus demografi, angkatan kerja produktif, dana zakat dan wakaf, diaspora Indonesia, kekayaan laut, dan lain sebagainya.

Namun mengapa kita tak bisa memberdayakan semua potensi yang ada?

Bagaimana agar umat Islam bisa mendayagunakan seluruh potensinya demi memenuhi takdirnya sebagai “rahmatan lil alamin”?

****

Ada lima kesadaran yang seharusnya terintegrasi dalam diri umat Islam agar mampu menjadi motor penggerak.

Pertama, kesadaran bahwa Allah telah menjatah setiap manusia dengan masalah dan persoalan. Selama kita masih bernafas, pikiran kita akan selalu penuh dengan persoalan2 yang menuntut untuk diselesaikan. Namun ada satu janji Allah:

“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba –Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Ada beberapa hadits lain dengan maksud serupa. Intinya Allah akan menolong kita dari kesulitan selama kita berupaya untuk menolong dan mempermudah urusan orang lain.

Jika kita hanya fokus pada persoalan2 atau pencapaian2 pribadi maka selamanya kita akan menghadapi masalah yang tak pernah putus, karena persoalan akan selalu hinggap di pikiran selama manusia masih bernafas. Namun jika kita memilih untuk mencurahkan pikiran dan energi kita untuk umat, bangsa atau persoalan orang lain maka yakinlah bahwa Allah akan menolong dan menyelesaikan persoalan kita dengan cara ajaib dan tak disangka-sangka.

Saya pernah bercerita tentang sosok Abu Muhammad, Imigran dari Iraq yang mencurahkan waktunya sebagai marbot masjid dan membantu komunitas muslim disini. Saya selalu menikmati obrolan dengan Abu Muhammad ketika beliau menjemput orang2 kampus untuk shalat Jumat.

Jumat lalu beliau bercerita bahwa dia hanya bekerja selama dua hari setiap minggunya di Food Lion (groceries store). Sisa waktunya dia habiskan untuk membantu 200an keluarga imigran dan melayani masjid. Kata beliau tidak ada bedanya bekerja 2 atau 5 hari per minggu. Meski hanya bekerja selama 2 hari namun Allah selalu mencukupi rezeki beliau. Terkadang ada yang minta disopirin ke Washington, kali lain ada yang memintanya untuk membersihkan kebun.

Orang hidup pasti selalu dirundung masalah. Sekarang pilihan ada ditangan kita. Jika kita memilih untuk fokus pada persoalan/pencapaian pribadi maka belum tentu persoalan akan terselesaikan dan jikapun selesai maka persoalan lain telah menunggu untuk diselesaikan.

Namun jika kita memilih untuk fokus pada persoalan2 umat atau menolong orang lain, maka dengan tanpa menghilangkan ikhtiar, Allah akan menyelesaikan persoalan kita Insya Allah. Bukankah janji Allah selalu pasti?

Mulai dari mana? Jika kita memiliki keluangan harta mulailah dengan menyantuni tetangga dan anak yatim secara rutin. Jika kita punya buku2 bacaan di rumah, buka taman bacaan untuk anak2 tetangga. Jika kita hanya punya waktu luang, beri les gratis untuk anak2 tetangga yang tidak mampu.

Sahabat baik saya pernah nyeletuk: “Cita-cita itu seharusnya bukan kata benda (objek) melainkan kata kerja (predikat). Sewaktu kecil kita belajar untuk bercita-cita kelak akan menjadi dokter, pilot, polisi dsb (objek). Tentu saja ini adalah hal yang baik.

Namun alangkah baiknya ketika kita belajar dan juga mengajarkan pada anak-anak kita untuk memiliki cita-cita berupa kata kerja: Saya ingin mengasuh 1000 anak yatim, saya ingin membuat sekolah dan rumah sakit gratis bagi orang miskin, saya ingin menyediakan 1000 nasi bungkus gratis setiap hari untuk tukang becak dan kuli bangunan.

Dua minggu lalu saya mendengar “lowongan amal” dari yayasan mercy without limit. Mercy without limit mengorganisir program2 untuk sekitar 4000 anak yatim. Mayoritas adalah anak-anak suriah dan rohingnya di kamp2 pengungsian. Mereka membuka lowongan orang tua asuh dengan mendonasikan $60 per bulan per anak.

Barangkali diantara kita ada yang bercita-cita: “Saya ingin menjadi orang tua asuh bagi 10 anak yatim piatu korban perang di pengungsian”

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *