Saya menghela napas dan termenung selepas mengisi kuesioner tentang depresi. Kuesioner ini adalah bagian dari penelitian mahasiswa doktoral psikologi yang sedang meneliti tentang depresi. Termakan iming2 gift card dan segelintir dollar, saya pun bersedia meluangkan waktu skitar 30 menit untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang pola hidup dan perilaku yang menjadi gejala depresi semisal pola makan, tidur, gelisah dan panik.

Perasaan saya bercampur aduk antara bersyukur, bahagia, sekaligus kasihan dan empati. Saya bersyukur karena saya hampir bebas dari segala gejala depresi. Alhamdulillah Saya makan enak, tidur sangat nyenyak, jarang sekali gelisah dan panik (seringnya malah over pede). Insya Allah saya bahagia.

Disisi lain saya jadi sangat berempati dengan kawan2 yang sedang terkena depresi, betapa tidak enaknya ketika dua hal dasar yakni (Semisal) makan dan tidur pun tak bisa dinikmati.

****

Ada lubang besar yang menganga di masyarakat Amerika.. Salah satu kawan baik saya rutin mengkonsumsi pil anti depresan sejak 7 tahun lalu. Kawan saya yang lain berpikir suicide gegara dispute dengan advisornya, khawatir akan suramnya masa depan jika advisernya menolak memberi surat rekomendasi.

Tingkat perceraian di Amerika sangat tinggi yakni lebih dari 50%. Tak heran banyak yang sudah tak percaya dengan institusi pernikahan. Kawan saya satu group setiap thanksgiving dan natal selalu mengunjungi pacarnya. Suatu saat saya keceplosan “Kamu liburan bukannya kerumah orang tua malah ke rumah pacar!” dia hanya diam, “Ah.. saya salah omong sepertinya.” Dalam kesempatan lain dia baru bercerita jika ayah dan ibunya bertemu ketika masing2 sudah bercerai dari pernikahan pertamanya. Dan kemudian mereka bercerai setelah dia lahir, lantas masing2 menikah dengan pasangan barunya. Makanya dulu saya bingung dengan banyaknya istilah untuk saudara, ada half brother, step brother, immediate brother. Seperti kawan saya yang mengaku punya banyak brother dengan berbagai awalannya, namun sedihnya ketika saya jauh2 datang ke pernikahan dia di Tennessee, hanya satu brother nya yang hadir di pernikahannya.

Cerita2 seperti ini banyak saya jumpai

*****

Ada fondasi yang kian lapuk dibalik megahnya peradaban Amerika. Orang dilanda kekhawatiran, semisal perekonomian yang tidak pasti. Room mate saya yang sebenarnya orang berada ketika berbicara tentang rencana menikah dan punya anak, dia malah banyak berbincang tentang biaya. Ada kekhawatiran memiliki anak sebelum mencapai standar penghasilan tertentu.

Ada satu adegan di film kartun komedi yang mengambil setting jauh di masa depan. Digambarkan seorang kakek sedang mendongeng: “Pada jaman dahulu kala, ketika manusia masih percaya dengan bible..” Simpel tapi menohok. Pelan tapi pasti orang2 sini meninggalkan agama, bahkan menertawakan orang2 yang mengimani kitab suci. Mereka terlalu percaya diri dengan sains.

Orang bisa saja berdebat : “Toh masyarakat sekuler seperti Jepang bisa hidup sangat tertib dan teratur, barangkali agama memang tidak relevan lagi.” Saya tidak menafikan tentang tertib, bersih dan teraturnya Jepang. Namun beberapa saat lalu saya membaca tentang orang2 tua yang mati kesepian di Jepang, tak pernah dikunjungi anaknya, Tentang orang2 yang mati kelelahan karena bekerja, tentang orang2 yang bukan hanya tak mau menikah bahkan sudah tak tertarik lagi dengan seks karena saking lelah dan stres nya.

Ada ruang hampa yang besar dan menganga di peradaban modern.

******

Oleh karena itu, beberapa kali saya menyampaikan bahwa hikmah terbesar saya merantau ke Amerika adalah saya makin mensyukuri KeIslaman dan KeIndonesiaan saya.

Bagaimana kita berIslam bergantung dengan narasi keislaman yang kita pegang. Dulu saya pernah berIslam dengan narasi bahwa Islam adalah kelompok tertindas yang sedang dihabisi oleh USA dan Yahudi, maka saya pun berIslam dengan kebencian dan kecurigaan. Ndilalah kok ya endingnya malah sekolah di Amerika dan salah satu Prof. favorit saya serta kawan baik saya adalah orang Yahudi. Sekarang saya malah berempati dan kasihan dengan orang Amerika, setidaknya kawan2 dekat saya.

Kini saya baru belajar memahami Narasi Islam sebagai “Rahmat bagi Alam semesta”, narasi Rahmatan lil alamin yakni narasi yang seharusnya membuat orang gembira dengan beragama.

Lazimnya 8 bulan sebelum lulus kawan2 sudah pontang-panting mencari lowongan postdoc atau kerja. Beberapa bulan lalu saya memulai pencarian namun saya stop karena Prof. saya belum “Ridho” saya apply postdoc, saya pun nurut. Dan sedikitpun saya tidak khawatir karena saya meyakini bahwa rejeki baik uang maupun ilmu sudah diatur Allah. Saya sudah berdoa meminta agar Allah memberi tempat kerja/postdoc yang terbaik, dan saya berprasangka baik. Oleh karena itu saya gembira. Insya Allah saya tidak pernah khawatir dengan masa depan. Seperti saat dulu saya menikah dimana saya hanya memegang cash 1 juta.

****

Waktu kecil, saya belajar Islam dengan narasi pahala dan siksa. Berpuasalah agar mendapat pahala, Kalau kau berbohong maka lidahmu akan dipotong.

Namun akhir2 ini ada beberapa cerita atau riwayat yang menata kembali narasi keIslaman saya. Pertama, tak ada amal ibadah yang timbangannya bahkan mampu mengimbangi nikmat penglihatan yang Allah berikan. Kedua, saya ingin menghindari dosa. Namun siapa jamin akhir hayat kita tidak akan berakhir seperti Iblis. Iblis adalah ahli ibadah ribuan tahun sebelum Allah menciptakan Adam. Satu titik kesombongan mampu membuat terjerumus. Siapa yang menjamin kita tidak akan terpeleset?

Intinya, kita tidak punya apa-apa dan kita tidak bisa apa2. Semuanya semata Rahmat dan ampunan Allah yang menjadi penentu. Dan kita hanya bisa memohon. Kita tidak tahu apa yang kan membuat kita selamat atau terjerat.

Ketiga, Kelak Allah akan memerintah malaikat untuk mengorek2 secuil kebaikan hamba-Nya agar sang hamba terhindar dari sika. Karena Rahmat Allah mendahului murka-Nya.

Keempat, bayangkan suatu saat kita sedang berperjalanan di gurun dan kita terlelap. Setelah bangun kita menyadari bahwa Unta beserta segenap barang bawaan lenyap. Kita sendirian di tengah gurun dan putus asa. Bayangkan tiba2 unta kita kembali dengan semua perbekalan.

Bisakah kita membayangkan kegembiraan yang dirasakan sang musafir? Dan Allah lebih gembira dibanding sang musafir ketika hamba-Nya bertobat.

Kelima, Allah menuruti prasangka hamba-Nya.

Keenam, jawaban Rabiah al adawiyah ketika ditanya apakah jika saya bertobat maka Allah akan mengampunika? Jika Allah mengampunimu maka engkau akan bertobat! jawab Rabiah.

****

Maka saya mencoba memasrahkan masa depan dunia dan akhirat saya pada Allah. Saya hanya bisa berprasangka baik sembari memohon Rahmat dan ampunan-Nya.

Saya ingin ber-Islam dengan gembira, saya ingin beribadah, bertobat dan menjauhi hal haram karena ingin agar Allah gembira dan memberi Rahmat-Nya.

Dan dengan narasi seperti inilah saya ingin mendakwah kan Islam. Bahwa Islam datang menawarkan kegembiraan, kepasrahan, dan penyejuk bagi jiwa-jiwa yang kering penuh kekhawatiran.

Karena Rahmat, kasih sayang dan ampunan Allah tak berhingga.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *