Ada hikmah dibalik setiap peristiwa, itu yang saya yakini. Dibalik pembatalan penerbangan yang membuat saya terdampar satu malam di Atlanta, setidaknya saya berhasil merampungkan satu novel sejarah tentang Buya Hamka beserta dua selingan majalah : Harvard business review dan the economist. Dan satu penggal kisah Buya Hamka lah yang menginsipirasi saya untuk membuat tulisan ini.

Buya Hamka merantau ke Mekah pada usia belasan tahun; usia yang saat itu saya (dan mungkin remaja belasan tahun lainnya saat ini) sedang asyik-asyiknya menjalani pertemanan, percintaan, atau mengisi keseharian dengan ulangan, PR serta update status di Facebook dan meramaikan jagat twitter. Hamka memang berasal dari keluarga berada, namun kepergiannya ke Mekah diawali dari perseteruan dengan ayahnya yang membuat perantauan Hamka bisa dibilang sekedar bermodal kenekadan. Sepenggal perjalanan inilah yang turut membentuk Hamka sebagai penulis tafsir Al Azhar; dimana 28 diantara 30 Juz nya diselesaikan di penjara. Perantauan inilah yang turut membentuk Hamka sebagai pendakwah yang melalang buana hingga ke Makasar, sebagai orang yang turut dalam organisasi pergerakan, juga sebagai pujangga yang setidaknya melahirkan dua masterpiece : Dibawah lindungan ka’bah dan tenggelamnya kapal van der wicjk. Hamka juga menikah dalam usia yang terbilang muda.

Tak berbeda dengan Hamka, KH Hasyim asyari juga memulai perantauan saat usianya 15 tahun. Beliau merantau dari satu pesantren ke pesantren lain, sebelum menyempurnakannya selama 7 tahun di mekah. Beliau menikah di usia 21 tahun, kemudian mendirikan pesantren tebu ireng ketika berumur 24 tahun dan mengelolanya dengan baik. Beliau juga mengelola perekonomian di sekitar pesantren hingga tebuireng berkembang sangat pesat. Di kemudian hari, KH Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama yang menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. 

Banyak tokoh lain yang menunjukan “kemilaunya” di usia yang terbilang muda (bahkan belum bisa dibilang pemuda melainkan remaja). Daan mogot yang gugur saat bertempur melawan jepang ketika berusia 17 tahun, sebelumnya dilantik menjadi mayor ketika berusia 16 tahun lalu menjadi perwira PETA dan bervisi mendirikan akademi militer. Ketika Daan mogot gugur (17 thn), saat itu ia adalah direktur militer akademi tangerang. Contoh lainnya tentunya Soekarno yang bisa mendirikan PNI saat usianya belum genap 30 tahun.

Apa yang membuat mereka demikian matang di usianya yang masih sangat belia? Mungkin kita bisa berkilah bahwa kondisi yang memaksa mereka. Namun, beberapa tokoh seperti Soekarno, Hamka yang berasal dari keluarga berada sebenarnya punya pilihan untuk hidup enak dan tidak melarat. Orang sepintar Soekarno mudah saja berkarir sebagai Insinyur di Belanda, lalu hidup enak disana sambil mengawini noni cantik Belanda alih-alih hidup dalam pembuangan dan penjara di sukamiskin, ende dan bengkulu. Dengan kata lain, Mereka yang menentukan pilihan, bukan kondisi luar yang memaksa pilihan mereka. Dengan demikian, kita juga sejatinya memiliki pilihan untuk bisa seperti mereka.

****

Lantas, apa yang membedakannya dengan pemuda serta kondisi jaman sekarang? Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini, saya mencoba untuk “napak tilas” perjalanan hidup saya sedari kecil sembari mencari jawaban.

Ketika SD dan SMP, cita-cita saya adalah menjadi pegawai negeri. Kenapa? karena persepsi yang hidup di lingkungan saya saat itu adalah Sukses = menjadi pegawai negeri. Saya sering mendengar kekaguman orang pada pegawai Pemda, pegawai pajak, dan PNS secara umum. Bahkan pedagang kaya pun seringkali masih kalah pamor dibanding pegawai negeri. Lantas, saya menghabiskan waktu SD dan SMP saya dengan bermain, belajar demi meraih ranking di kelas, mengikuti banyak perlombaan seperti lomba P4. Kenapa? karena yang dianggap keren waktu itu adalah meraih juara kelas atau juara lomba, lulus sekolah, kuliah dan lalu menjadi pegawai negeri. Singkat kata, selama 14 tahun saya menjalani hidup yang “lurus-lurus saja”.

Ketika SMU,  Hidup saya masih lurus-lurus saja sebenarnya. Namun, ada satu titik perbedaan yang sangat signifikan. Saya bertemu dengan guru fisika yang luar biasa. Beliau memberi saya satu hal : Mimpi/Visi. Beliaulah yang membuka cakrawala saya bahwa diluar sana, di Bandung ada tempat berkumpul putra/i terbaik bangsa, namanya kampus ITB. Beliau juga yang pertama membina saya di ajang olimpiade fisika, sembari menyelingi dengan kisah Dakwah wali songo. Dan beliaulah yang pertama kali mengenalkan konsep kebangsaan. Selepas saya lolos 30 besar di ajang olimpiade fisika, saya bertemu dengan Pak Yohannes Surya. Beliau yang pertama kali mengenalkan saya bahwa di luar sana, ada kampus hebat yang namanya MIT, Princeton dsb. Dan Bahwa setiap tahun, fisikawan dari seluruh dunia diseleksi untuk diberi satu penghargaan bernama nobel fisika. 

Sederhananya, ketika saya berusia 17 tahun saya sudah bersentuhan dengan mimpi-mimpi besar. Namun, saya masih hidup dalam “kelurusan”. Masih terlampu jauh jika dibandingkan dengan Hamka, KH Hasyim asyari yang sudah berkelana jauh atau dengan daan mogot yang sudah memimpin pasukan serta memimpin akademi militer.

Lalu saya masuk ITB. Tak kurang dari 6 tahun saya berguru di kampus soekarno ini. Dan 6 tahun di kampus Ganesha ini, boleh dikata menjadi salah satu fase terpenting dalam hidup saya. Setidaknya, saya dapat jodoh disini. Namun, disamping hal ikhwal perjodohan dan percintaan. Disini saya benar-benar tertempa secara pemikiran dan pengalaman berorganisasi. Disini saya bisa menikmati kuliah fisika, Diskusi berbagai aliran pemikiran (dari ujung kanan hingga kiri), mengikuti seminar para pakar ekonomi, Hingga menikmati kolaborasi seni berbagai daerah dalam satu hari. 

Boleh dikata, disini hidup saya mulai rada “bengkok”. Ketakjuban saya dengan atmosfer pemikiran d Ganesha, serta kesibukan ketika berkiprah di organisasi mahasiswa membuat IP saya jeblok hingga nol koma.  Namun, saya masih diberi asupan jajan sama Bapak saya, cuma ditahun terakhir saja saya terbiasa bersepeda kebonbibit – Cijagra untuk mencari sesuap nasi setelah ayah ngambek gara-gara saya nggak lulus2. 

Selepas lulus, kebengkokan saya makin menjadi-jadi : kuliah S2 yang tidak selesai (salah satu kesalahan hidup terbesar yang sangat saya sesali), Menikah ketika hanya punya pegangan utang 1 juta (salah satu keberuntungan hidup yang sangat saya syukuri), bersama kawan2 menjalani Bisnis dari nol/tanpa modal, lalu dengan cepat membesarkannya hingga pernah membawa satu bus besar karyawan pesiar ke pengandaran, ekspansi ke luar pulau, negosiasi langsung dengan Dirut BUMN, mencapai omset 1 Milyar, dan berakhir dengan pembubaran perusahaan dengan tanggungan hutang ke bank lebih dari 100 juta (salah satu fase hidup dimana saya merasa utuh sebagai petarung dan petaruh).

Boleh dikata, 2,5 tahun hidup saya selepas lulus seperti menaiki roller coster. Namun, sebengkok-bengkoknya saya, masih teramat jauh dengan “kebengkokan” yang pernah dijalani oleh hamka, ahmad dahlan, soekarno, daan mogot, tan malaka, natsir, nyoto, aidit dsb.

saya masih hidup dalam kenyamanan.

*****

Jadi, apa yang membuat saya (kita) terlambat dewasa? 

1. Terlambat memiliki mimpi besar.

2. Hidup dalam kenyamanan.

Dengan dua hal diatas, ditambah kecerdasan saya yang “sedang-sedang” saja, maka pantas bagi saya untuk mengubur impian bahwa suatu saat saya akan memiliki capaian seperti orang-orang besar diatas : seperti pejuang2 pra kemerdekaan, seperti para peraih Nobel fisika, seperti M Al fatih yang menaklukan Konstantinopel ketika berusia 21 tahun. Bahkan saya mulai diliputi kekhawatiran bahwa mentalitas saya sebagai petaruh dan petarung telah hilang tak berbekas. 

*****.

Jadi, apa sejatinya yang membuat pemuda dan remaja di era kekinian (apapun sebutannya) milenium, globalisasi, postmodern dsb terlambat menjadi dewasa???

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *