Fisika VS Metafisika: Dekonstruksi bangunan sains

(Catatan Perjalanan Bdg-Jkt-BSD Part 2/10)

Mengapa ada dikotomi antara fisika versus metafisika? Bangunan science yang kini kita pelajari memang berdasar pada filsafat ilmu barat yang sifatnya adalah reduksionis dan materialistik. Secara ontologi, ruang lingkup science dibatasi pada apapun yang dapat diindera (jism) baik secara langsung maupun tak langsung melalui instrumen. Secara epistemologi, pengetahuan hanya valid jika didapat melalui cara yang kita sebut sebagai metode ilmiah (deduksi-induksi). Dan secara aksiologi, science itu bebas nilai. Science tak punya kepentingan apapun dengan moral atau akhlak. Keduanya hidup dalam domain yang berbeda.

Pendekatan ini memang ampuh melahirkan inovasi dan kemajuan besar2an hingga science kini dianggap sebagai superstar, silver bullet untuk menyelesaikan berbagai ragam persoalan peradaban. Bahkan muncul bibit2 kepongahan karena science. Kawan saya di Florida pernah ditanya tentang agama yang ia anut dan dia menjawab bahwa agamanya adalah science.

Saya tinggal di Negara produsen terbanyak nobel science selama 10 tahun, waktu yang cukup valid untuk menyimpulkan bahwa ada lubang besar yang menganga dibalik kemajuan science, teknologi dan ekonomi nya. Ada kehampaan besar, anti depressan sangat umum seperti umumnya promag atau bodrex disini. Dan persoalan2 individu ini berkelindan dengan berbagai persoalan sosial seperti rasisme dan kesenjangan sosial.

****

Ada bias dan ketidakadilan sejarah berkaitan dengan sains Islam atau sains di zaman keemasan Islam yang merentang selama beberapa ratus tahun. Berkali-kali saya menemukan buku yang bercerita tentang sejarah science, memulai dari Yunani kuno dan alexandria lalu loncat ke abad pencerahan eropa. Seakan-akan tidak ada perkembangan sains selama ratusan tahun. Padahal selama beratus tahun obor sains dari Yunani dan Alexandria dilewatkan ke Dinasti Umayyah, Abbsiyah hingga Utsmani yang tersohor dengan meriam raksasa nya. Abad pertengahan disebut sebagai abad kegelapan, padahal Baghdad waktu itu terang benderang.

Yang paling miris adalah saya mengenal dinasti2 Islam seperti Umayyah hingga Utsmaniyah saat SMP dari pelajaran agama dan bukan dari mata pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah umum tidak mengajarkan entitas-entitas superpower tersebut yang rentang pengaruhnya sampai ratusan tahun. Saya maklum kalau ini terjadi di Barat. Tapi miris sekali hal ini terjadi di Indonesia.

Bias sejarah ini telah menghilangkan legacy bangunan science yang tumbuh di jaman keemasan Islam. Sehingga kini kita hanya punya satu opsi filsafat ilmu yakni filsafat keilmuan warisan abad pencerahan: Bahwa metode Ilmiah adalah satu-satunya metode valid untuk membangun science, Bahwa ada garis tegas yang memisahkan antara moralitas dan science.

****

Kita harus kembali ke peradaban Ilmu. Dan kita perlu membangun falsafah baru sebagai fondasi bangunan new science. Tentu saja ini adalah pekerjaan super berat atau proyek super ambisius. Namun bisa kita mulai dari hal kecil, baby step!!

Sebagai contoh ketika berbicara tentang epistemologi, metode ilmiah bukan satu-satunya syarat untuk menggali science. Kata Imam Syafii, adab sebelum ilmu. Jadi epistemologi Islam tak hanya mencakup metode melainkan juga adab keilmuan. Dan salah satu kitab adab paling tersohor adalah Ta’limul muta’alim. Maka Ta’limul muta’alim seharusnya tak hanya diterapkan ketika akan belajar Fiqih atau terhadap guru Fiqih melainkan juga ketika akan belajar Fisika terhadap guru Fisika. Jika santri dianjurkan berwudhu sebelum belajar Ilmu hadits, maka selayaknya santri juga dianjurkan untuk berwudhu sebelum belajar Fisika.

Dan ketika berbicara tentang aksiologi, motivasi duniawi atau mindset profesi harus dilepaskan (sesuai anjuran Gus Ulil ketika berceramah di Cipasung). Maksudnya adalah jangan sampai saya belajar fisika hanya untuk motivasi profesi semata. Jangan sampai saya belajar Fisika semata untuk bergelar PhD dan semata untuk berprofesi sebagai professor. Menjadi PhD dan professor adalah tools untuk tujuan yang lebih besar dan agung.

Saya menyampaikan di Podcast hari minggu lalu bahwa Fisika dan Science adalah medium saya untuk berdzikir. Seperti kata Gus Baha bahwa hidup itu adalah menyaksikan kekuasaan Allah, sesederhana itu. Lalu saya ceritakan bahwa saya membaca artikel menarik tentang migrasi burung dimajalah scientific american yang membuat merinding. Ada spesies2 burung yang setiap tahun bermigrasi ribuan mil. Pertanyaannya adalah bagaimana burung2 tersebut melakukan navigasi? Ternyata navigasi nya berdasar pada deteksi medan magnet bumi menggunakan prinsip fisika kuantum (selengkapnya silahkan baca how migrating birds use quantum effect to navigate di majalah scientific american). Ada prinsip sains dan tekonologi maju dibalik migrasi burung.

Ini hanyalah salah satu contoh dari tak terhitung banyaknya “keajaiban2” yang terkandung dalam bahasa science, seperti ukuran bumi yang harus pas agar komposisi atmosfer cocok untuk manusia, atau medan magnet bumi yang menjadi perisai sinar kosmik. Dan itu baru dari sains kebumian, kita belum berbicara tentang atom, DNA atau kosmologi. Semuanya menuju pada satu kesimpulan: “Proses rumit namun cantik ini pasti didesain oleh satu Dzat yang Maha berkuasa”.

****

Dekonstruksi falsafah science adalah pekerjaan besar dan berat, mungkin perlu beberapa dekade. Kawan-kawan di UIN banyak yang sudah familiar dengan hal ini. Namun sepengamatan saya masih sedikit dari kawan2 dengan background hard science yang familiar dengan isu ini.

Namun langkah-langkah kecil telah dimulai. Bapak Gus Pur telah membuat konstruksi “Ayat-ayat semesta” , lalu Mas Ahmad Thoha Faz bergelut dengan fondasi matematika. Mas Thoha selalu menyebut bahwa kita harus membangun detail operasional terkait perintah Allah untuk merenungi penciptaan alam semesta. Ada perintah Allah untuk Shalat dan Zakat. Dan detail operasional untuk kedua perintah tersebut sangat jelas, dibangun oleh ahli-ahli Fiqih (Fuqaha) dari berbagai Mahzab. Namun detail operasional atau Fiqih untuk merenungi penciptaan alam semesta belum sejelas Fiqih Shalat dan Fiqih Zakat. Ini adalah tantangan bagi scientist untuk menjadi “Fuqaha” yang menyusun detail-operasional dari perintah untuk merenungi penciptaan alam semesta.

Dan Alhamdulillah, hari Sabtu lalu saya berkesempatan untuk bersilaturahmi dengan Bapak Suparno Satira di Salman, yang aktif mendakwahkan restrukturisasi pembelajaran Fisika.

Tulisan ini adalah inspirasi dari diskusi dan silaturahmi dengan beliau, ditemani oleh kawan Faizal Rohmat , dosen muda dari ITB yang penuh semangat dan kawan Ahmad Zamakhsyari Sidiq yang kini mengampu STT Cipasung.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *