Organisasi Modern & Indonesia 2045 – Part 2

Part 2: Holacracy

Disclaimer: Mengandung kampanye

Dunia sedang mengalami transisi revolusioner. Kita sering mendengar pernyataan ini: Perusahaan transportasi terbesar tidak memiliki aset kendaraan (Uber), Toko terbesar didunia tidak memiliki “phisycal store” (Amazon), perusahaan jasa penginapan terbesar tidak memiliki ruang penginapan (AirBnB).

Dan tren ini terus berlanjut, mengancam berbagai model bisnis dan organisasi. Orang meramalkan bahwa universitas adalah korban berikutnya. Saya sering mencermati profil Linkedin kawan2 saya. Yang menarik adalah mereka berlomba memamerkan berbagai credential dan certificate dari udemy, coursera, IBM dan Amazon. Seakan-akan label lulusan kampus X tak lagi cukup untuk meyakinkan bahwa mereka punya skill. Seakan-akan provider2 course tersebut, terutama perusahaan besar seperti IBM dan Amazon lebih dipercaya dibanding universitas.

Bahkan monopoli moneter pun terancam oleh teknologi block chain & bitcoin. Provider jaringan internet kini pun terancam starlink nya Elon Musk.

Pertanyaan yang menggelitik adalah perubahan mendasar apa yang sedang terjadi dalam dunia organisasi?

Bentuk organisasi selalu berevolusi. Awal mula manusia memerlukan organisasi, bentuknya adalah organisasi “merah”, ditandai dengan kepala suku yang powerful, rasa takut sebagai perekat organisasi serta fokus jangka pendek alias reaktif. Ini adalah organisasi mafia atau organisasi kawanan srigala.

Evolusi selanjutnya adalah organisasi “Amber”. Ditahap ini organisasi mulai mengenal peran formal atau tupoksi. Ciri khas organisasi adalah hierarki (struktur yang rigid) dan alur komando yang jelas. Organisasi mulai memiliki perspektif jangka panjang dan stabilitas menjadi tujuan utamanya. Contoh organisasi “Amber” adalah organisasi militer dan pemerintah.

Berikutnya adalah organisasi “Orange”. Pada tahap ini organisasi sangatlah “goal & task oriented”. Mengalahkan kompetititor dengan inovasi tiada henti adalah tujuan utama organisasi “orange”. Kata kunci yang melekat pada organisasi “orange” adalah Inovasi, akuntabilitas dan meritokrasi. Perusahaan multinasional adalah contoh dari organisasi bertipe ini.

Selanjutnya kita mengenal organisasi “hijau”. Ibarat satu keluarga, organisasi bertipe “hijau” menekankan pentingnya pemberdayaan anggota. Kepemimpinan dibangun atas konsensus serta partisipatif menjadi kata kuncinya. Oleh karena itu, setiap anggota dipandang sebagai stakeholder yang sama2 memiliki peran signifikan. Perusahaan seperti Southwest airlines menerapkan sistem ini.

Evolusi selanjutnya dan yang saat ini sedang terjadi adalah organisasi “teal”. Self-management menggantikan pola hierarki. Organisasi dipandang sebagai organisme hidup, leadership terdistribusi merata mirip seperti block chain. “purpose” menjadi mantra dan individu atau setiap entitas memiliki kebebasan tinggi selama “purpose” nya selaras dengan “purpose” organisasi secara umum.

Organisasi “teal” inilah yang kita kenal sebagai holacracy. Kesuksesan Buurtzorg, sebuah penyedia jasa medis di Belanda menjadi inspirasi model holacracy.

****

Satu hal yang saya kagumi dari Saska adalah kreativitas dan ngotot atau keukeuhnya dengan ide2 yang hinggap dikepalanya. 13 tahun lalu Saska pernah nyeletuk “Kalau musik ada musik indie, film ada film indie, kenapa riset nggak ada riset indie”. Jujur waktu itu saya agak skeptis. Tak disangka Labtek dan Riset Indie sudah Saska geluti hingga saat ini dan menjadi brandingnya Saska. Saska menggeluti Labtek indie dengan framework “design thinking” yang selalu Ia promosikan kemana-mana.

Beberapa tahun lalu Saska menjelaskan holacracy dengan antusias dan berapi-api. “Waduh, resikonya besar sekali kalau diterapkan ke perusahaan” pikir saya waktu itu.

Tahun pertama penerapan Holacracy berhasil membuat perusahannya babak belur. Alhamdulillah, tahun berikutnya berhasil bounce back.

Oleh karena itu, dengan pedenya Saska selalu bilang: “Saya sudah berpengalaman menggunakan sekaligus berpengalaman menyalahgunakan dengan baik”

Dan Saska percaya bahwa model holacracy dan design thinking cocok untuk diterapkan di IA-ITB. Bukan hanya karena Ikatan Alumni (seharusnya) berkarakter paguyuban, namun juga karena model inilah yang mampu menjawab tantangan zaman demi menyongsong Indonesia emas 2045.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *